Ekonom Konstitusi Defiyan Cori, menengarai dengan memperhatikan berbagai kebijakan yang diambil oleh Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) selama tiga tahun terakhir, diduga ada upaya pihak-pihak tertentu yang berusaha menjadikan pengelolaan BUMN yang bersifat monopoli digiring ke arah pasar persaingan sempurna.
"Dengan demikian, pihak swasta dan asing sekalipun bisa menguasainya,"kata Defiyan di Jakarta, Kamis (11/4/2017).
Walau begitu, tentu tidak berarti semua pelaku usaha swasta atau mantan personalia yang bekerja di perusahaan kapitalistik mempunyai paradigma yang sama dalam pengelolaan BUMN di pasar. Namun, kepentingan para pemilik kapital bisa saja menekan posisi mereka sehingga dalam posisi yang sulit untuk mengelak paradigma dari sistem ekonomi kapitalisme dan neoliberalisme yang berorientasi pada persaingan bebas, walaupun itu melanggar konstitusi negara.
Baca Juga: Pengamat: Laporan Keuangan PLN Patut Dipertanyakan
"Sekuritisasi asset BUMN yang akan dilakukan oleh Kementerian BUMN adalah sebuah pilihan kebijakan yang tidak tepat jika itu dilakukan pada BUMN yang menguasai hajat hidup orang banyak seperti PLN, apalagi PLN berkinerja baik dan perusahaan yang sehat," jelasnya.
Menurutnya, seharusnya Kementerian BUMN melakukan upaya yang bersifat strategis dan sinergis dalam menyehatkan BUMN-BUMN yang dijamin penguasaannya oleh negara berdasarkan Pasal 33 UUD 1945. Salah satunya dengan cara mengatur hak monopoli itu secara konstitusional pula.
"Bukan berusaha meliberalisasi dan menswastanisasikan BUMN yang berarti menghapus peluang kesejahteraan semua rakyat Indonesia. Sebaiknya Presiden dapat mengevaluasi kinerja Kementerian BUMN dan Direksi PLN ini jika program-program Trisakti dan Nawacita akhirnya menemui kegagalan," imbuh Defiyan.
Pemetaan pelanggan menjadi penting untuk menentukan TDL subsidi dan non subsidi. Tanpa pemetaan yang tepat, penaikan tarif dasar listrik (TDL) oleh PLN akan kebijakan yang salah dalam menyasar konsumen.
Selain pemetaan kelompok sasaran konsumen, maka PLN di tingkat perencanaan mestinya juga mengkaji secara mendalam implikasi makro ekonomi atas kenaikan TDL. Jika mengacu pada data yang digunakan oleh PLN atas jumlah pelanggan yang menggunakan daya 900 VA, yaitu 22,8 juta RT yang selama ini mendapatkan subsidi, maka PLN mengklaim hanya 4,1 juta pelanggan yang berhak memperoleh subsidi listrik. Artinya sejumlah 18,7 RT pelanggan tidak akan memperoleh lagi atau dicabut subsidi listrik yang selama ini diterimanya dan akan menambah biaya pengeluaran untuk kebutuhan listrik mereka yang sebelumnya Rp 1.034 per Kwh menjadi Rp 1.352 per Kwh atau naik sebesar Rp 322 per Kwh.
Baca Juga: PLN Amankan Pasokan Listrik Jakarta
Dengan kenaikan ini, maka ada potensi penjualan listrik bagi PLN dari pencabutan subsidi pada 18,7 juta pelanggan yaitu sebesar Rp 6,022 Milyar per Kwh, bisa dihitung berapa Kwh yang dipakai oleh pelanggan tersebut selama sehari atau sebulan. Dan, jumlah ini akan meningkat lagi pada bulan Juli 2017 dengan rencana PLN untuk menaikkannya lagi sebesar Rp 1.467,28 per Kwh atau sebesar hampir 10 persen.