Problem serius yang mengakibatkan kesenjangan ekonomi di Tanah Air antara lain terjadinya eksploitasi kekayaan alam yang bernilai ekonomis sangat tinggi oleh kalangan pemodal besar dan menginvestasikan kembali kekayaan hasil eksploitasi alam itu dalam bentuk usaha ekonomi padat modal yang tak bersinggungan dengan kebanyakan orang miskin.
Sebagai contoh yang sangat mencolok adalah penggerusan sumber-sumber ekonomi bidang pertambangan. Para penikmat hasil tambang emas dan tembaga di Papua, misalnya, bukanlah mayoritas warga Papua yang miskin tapi kapitalis pemodal dan segelintir kaum eksekutif yang menjalankan perusahaan tambang itu.
Tampaknya, fenomena kesenjangan ekonomi yang tergolong tinggi saat ini oleh pemerintahan Joko Widodo diatasi dengan melakukan kebijakan yang belum disentuh oleh pemerintahan sebelumnya: membangun banyak infrastruktur terutama di wilayah timur Indonesia .
Pemberian akses penguasaan tanah kepada kelompok orang miskin lewat sertifikasi tanah-tanah adat juga diharapkan menjadi jalan untuk memperoleh modal kerja bagi kalangan masyarakat bawah.
Baca Juga: 1 Persen Orang Kaya Indonesia Kuasai 49 Persen Kekayaan Nasional
Namun kekuatan negara dalam menanggulangi kesenjangan ekonomi memang tak selalu efektif sebab yang menjadi batu penghalang bukan hanya faktor ekonomi internal tapi juga eksternal.
Ketika ekonomi global mengalami gejolak, entah berupa krisis harga minyak atau akibat resesi dunia, tingkat kesenjangan ekonomi bisa secara cepat mengalami peningkatan.
Di tataran internal, kesenjangan ekonomi juga bisa dipicu oleh faktor-faktor nonekonomi seperti kestabilan politik yang rentan karena persaingan politik menjelang kontestasi perebutan kekuasaan politik.
Pada akhirnya kesenjangan ekonomi yang tinggi jelas menjadi persoalan bangsa yang di dalamnya berkelindan antara problem politik dan ekonomi.
Itu sebabnya, kadang demokrasi sepintas lalu kentara sebagai sistem politik yang kurang kondusif untuk mengatasi persoalan kesenjangan ekonomi.
Namun, dalam jangka panjang, otokratisme terbukti secara pasti memorakporandakan hasil-hasil pembangunan yang sebelumnya tampak impresif. Itulah yang bica disaksikan selama hidup di bawah rezim Orde Baru. (Antara)