Andalkan Peternakan Rakyat, Swasembada Sapi Mustahil Terwujud

Adhitya Himawan Suara.Com
Kamis, 20 April 2017 | 06:46 WIB
Andalkan Peternakan Rakyat, Swasembada Sapi Mustahil Terwujud
Pedagang daging sapi di Pasar Senen, Jakarta, Selasa (7/6). [suara.com/Oke Atmaja]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Mandiri secara ekonomi adalah bagian integral dari proyek politik yang hendak diwujudkan oleh Presiden Joko Widodo.

Pada tataran program, swasembada daging sapi merupakan salah satu yang hendak dijadikan target pemerintahannya, yang realisasinya bisa dipatok dalam satu dekade ke depan.

Setahun silam, ketika melakukan kunjungan kerja ke sebuah perusahaan peternakan sapi di Cibodas, Bogor, Jawa Barat, Presiden Joko Widodo memprediksi Indonesia baru bisa berswasembada daging sapi dalam sepuluh tahun ke depan.

Jokowi tampaknya belajar dari pengalaman pemerintahan sebelumnya, yang terlalu ambisius menargetkan swasembada daging sapi pada 2005, kemudian direvisi menjadi 2010.

Baca Juga: Swasembada Daging Sapi Terancam Gagal Karena Surra

Namun, swasembada daging sapi yang dicanangkan itu tak pernah tercapai. Selalu saja laju kebutuan konsumsi daging sapi di dalam negeri lebih kencang dibandingkan laju produksi daging sapi.

Akibatnya impor pun tak terelakkan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi daging sapi itu. Tanpa didukung impor, harga daging sapi bisa melambung tinggi sehingga tak terjangkau bahkan oleh mereka yang berpenghasilan sedang, bukan kelompok warga miskin.

Apalagi di hari-hari besar seperti menjelang Idul Fitri dan Idul Adha, Natal dan Tahun Baru. Tampaknya swasembada daging sapi bukan perkara sepele. Kenapa? Untuk menjadi negara yang sanggup memenuhi kebutuhan dalam negeri dalam konsumsi daging sapi, negara itu perlu membangun sistem perternakan sapi berskala besar dan modern sebagaimana yang dilakukan negara yang maju sebagai pengekspor daging sapi.

Produksi daging sapi di Indonesia selama ini tak berasal dari sistem peternakan sapi berskala besar dan modern seperti Australia, namun dari perusahaan peternakan skala madya dan peternakan rakyat.

Ketika Dahlan Iskan menjabat Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, dia punya ambisi untuk membangun sistem peternakan sapi skala besar dan modern dengan ancang-ancang membuka lahan ribuan hektare di Kalimantan.

Namun rencana itu tinggal impian sampai akhirnya periode kedua pememrintahan SBY berakhir dan digantikan oleh Jokowi.

Tampaknya Jokowi ingin merealisasikan impian untuk memenuhi kebutuhan konsumsi daging sapi itu dengan mendayagunakan kemampuan anak bangsa dalam penyediaan bibit sapi potong dari tahapan paling hulu.

Pada tahap itu, diperlukan penyediaan sebanyak dua hingga tiga juta sperma beku dari sapi pejantan pilihan yang ketersediaannya harus dilakukan secara kontinyu.

Jutaan benih itu lalu didistribusikan ke industri peternakan dan peternak rakyat di seluruh nusantara.

Namun mata rantai untuk sampai bisa menghasilkan seekor sapi unggul dari senokta sperma beku masih perlu penanganan sistematis yang melibatkan kemampuan berbagai disiplin keilmuan.

Pakar biologi, ilmu kedokteran hewan, ahli gizi untuk memproduksi pakan yang bernutrisi namun memenuhi kelayakan ekonomis hingga dukungan teknologi canggih untuk pemeliharaan dan perawatan sangat dibutuhkan.

Manajemen dalam menghimpun peternakan rakyat dalam satu usaha kolektif komersial juga perlu diperkenalkan ke para peternak individual yang sesungguhnya tidak pernah memperoleh keuntungan memuaskan dari aktivitas memelihara sapi secara tradisional.

Peternakan sapi yang dilakukan secara tradisional oleh rakyat di berbagai daerah di Tanah Air juga sangat rentan dalam menanggulangi ancaman wabah antraks, penyakit mulut dan kuku yang sering menyerang hewan pemamah biak seperti sapi dan kerbau.

Persoalan klasik yang mengakibatkan sulitnya peternak sapi membesarkan volume usahanya adalah yang menyangkut modal usaha. Beternak sapi pada dasarnya bukan hanya perkara memperbesar jumlah sapi anakan tapi juga sarana pendukung seperti lingkungan dalam arti kandang yang memadai baik secara keluasan lahan maupun secara higienis.

Dengan hanya mengandalkan pola peternakan rakyat secara tradisional, swasembada daging sapi tak akan pernah terwujud. Pemerintah perlu membangun peternakan skala besar dan modern dengan menyediakan lahan yang khusus untuk peternakan sapi.

Sistem peternakan semacam itu sesungguhnya bisa dilakukan dengan berbagai skema pembiayaan, antara lain dengan mengajak negara-negara yang telah berhasil dalam mengembangkan usaha peternakan sapi seperti Australia untuk berinvestasi di Indonesia di bidang usaha peternakan sapi.

Untuk mempercepat target swasembada dalam pemenuhan konsumsi daging sapi, sebetulnya pemerintah perlu memasyarakatkan penganekaragaman dalam berkonsumsi daging dengan tidak hanya berfokus pada daging sapi semata, tapi juga daging kerbau.

Beberapa etnis di Tanah Air punya tradisi untuk mengonsumsi kerbau seperti masyarakat Tana Toraja dan sebagian masyarakat Betawi.

Jika perlu, kelaziman mengonsumsi daging kuda yang jadi budaya beberapa warga di Tanah Air bisa juga disosialisaikan ke komunitas lain yang lebih luas. Dengan demikian, ada keanekaragaman dalam penyediaan daging hewan pemamah biak.

Itu seperti imperatif tentang pentingnya menganekaragamkan bahan pangan yang tak hanya bergantung pada produksi padi tapi juga bahan pangan lain yang mengandung karbohidrat seperti jagung, ubi-ubian.

Problem utama dengan proyek politik yang berkaitan dengan kebijakan swasembada adalah terlalu kuatnya hasrat untuk memaksakan diri dalam mengejar target.

Ketika sebuah komoditas itu sangat bergantung pada faktor-faktor lain seperti kecocokan iklim dan kesuburan tanah, bagi negara yang orientasinya kemakmuran, kebijakan impor bukanlah tabu. Jika impor jauh lebih murah, pilihan paling realistis adalah mendatangkan komoditas itu dari luar negeri. Hong Kong adalah salah satu negara yang hamper semua kebutuhan pangannya diimpor dari negara lain karena memproduksi sendiri akan jauh lebih mahal biayanya.

Namun kelemahan yang dimiliki negara yang selalu bergantung pada impor adalah kemungkinan risiko yang dihadapinya ketika terjadi krisis komoditas impor itu sehingga harganya bisa meroket sewaktu-waktu. (Antara)

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI