Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) memastikan penanganan infrastruktur dan pengendalian lumpur Sidoarjo di daerah terdampak serta menjamin infrastruktur tersebut tetap berfungsi sesuai rencana. Demikian disampaikan Menteri PUPR Basuki Hadimuljono dalam Rapat Kerja dengan Komisi V DPR RI mengenai Pengendalian Lumpur Sidoarjo Paska Pembubaran Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) yang dipimpin oleh Fary Djemi Francis, yang berlangsung di Ruang Rapat Komisi V DPR RI, Jakarta, Rabu (5/7/2017).
Paska pembubaran BPLS melalui keluarnya Perpres No.21 Tahun 2017, tugas dan fungsinya dialihkan dan dilaksanakan oleh Kementerian PUPR. Menteri Basuki kemudian mengeluarkan Permen PUPR No. 5 tahun 2017 tentang pembentukan Pusat Pengendalian Lumpur Sidoarjo (PPLS) dan telah melantik Dwi Sugiyanto sebagai Kepala PPLS.
"Perhatian Pemerintah tidak berkurang untuk pengendalian lumpur Sidoarjo. Kementerian PUPR akan terus melanjutkan tugas dan fungsi yang prinsipnya tidak ada perbedaan dan memastikan penanganan kepada masyarakat yang terkena dampak dan masyarakat sekitar tetap menjadi prioritas," tegasnya dalam keterangan resmi, Kamis (6/4/2017).
Baca Juga: 4 Menteri Sepakat Mempercepat Pembangunan Infrastruktur
Dalam Raker tersebut turut hadir Sekretaris Jenderal Anita Firmanti, Inspektur Jenderal Rildo Ananda Anwar, Dirjen Sumber Daya Air Imam Santoso, Dirjen Cipta Karya Sri Hartoyo, Dirjen Bina Marga Arie Setiadi, Kepala PPLS Dwi Sugiyanto, Wakil Kepala BPLS Hardi Prasetyo serta pejabat tinggi pratama Kementerian PUPR lainnya.
Sementara itu Ketua Komisi V DPR Fary Djemi Francis yang membacakan hasil kesimpulan rapat, mengatakan bahwa Komisi V DPR memahami keputusan pemerintah atas pembubaran BPLS yang kemudian tugas dan fungsinya dilaksanakan oleh Kementerian PUPR dan meminta agar penanganan lumpur Sidoarjo tetap menjadi prioritas.
Menteri Basuki menyampaikan saat ini debit semburan lumpur sudah jauh berkurang dari awalnya 100-120 ribu m3/hari, saat ini menurun menjadi 10-15 ribu m3/hari. Meski sudah menurun, namun Menteri Basuki tidak dapat menyatakan kapan semburan akan berhenti sama sekali.
Terkait permasalahan dampak sosial, realisasi jual beli tanah dan bangunan di dalam peta area terdampak (PAT) 22 Maret 2017 yang menjadi tanggung jawab PT. Minarak Lapindo Jaya telah terbayar 12.993 berkas senilai Rp 3,82 triliun dari kewajiban 13.237 berkas senilai Rp 3,87 triliun, sehingga tersisa 244 berkas senilai Rp 54,33 miliar.
Sementara realisasi jual beli tanah dan bangunan di luar PAT yang menggunakan dana APBN melalui BPLS progresnya saat ini dari total 9.181 berkas untuk pembayaran tanah dan bangunan warga, fasum/fasos dan tanah waqaf dengan nilai Rp 3,87 triliun sudah terbayar senilai Rp 3,13 triliun atau 80 persen, sehingga tersisa Rp 746 miliar. Berkas tersebut terdiri dari 1.843 berkas di tiga desa sesuai Perpres 48/2008 yakni Desa Besuki, Desa Penjarakan dan Desa Kedungcangkring di Kecamatan Jabon, 833 berkas di 9 (sembilan) Rukun Tetangga (RT) sesuai Perpres 40/2009, dan 6.505 berkas di 65 RT sesuai Perpres 33/2013.
Menteri Basuki mengatakan para pengusaha yang aset tanah dan bangunan pengusaha yang masuk dalam PAT 22 Maret 2017 sudah lama berharap dilakukan penyelesaian seperti halnya jual beli tanah dan bangunan milik masyarakat. “Aset pengusaha yang didalam PAT 22 Maret 2007 akan segera saya konsultasikan kepada Bapak Presiden, karena harus diputuskan dalam Sidang Kabinet,” jelasnya. Jumlah pengusaha yang terdampak semburan lumpur berjumlah sedikitnya 30 pengusaha dari berbagai jenis usaha seperti kerajinan tas, kulit, furniture, makanan kecil, gudang, jasa properti, pengolahan plastik dan industri rumah tangga.