Publik dikejutkan oleh Operasi Tangkap Tangan yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasa Korupsi (KPK) atas sejumlah oknum pejabat PT. Penataran Angkatan Laut (PAL) Indonesia. Kasus ini diduga melibatkan beberapa orang Direksi PT PAL Indonesia. seperti Direktur Utama, Direktur Keuangan dan General Manager Treasury.
Sebagaimana diketahui bahwa PT. PAL adalah sebuah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bergerak di industri galangan kapal. Sejarah PT. PAL sendiri berawal dari industri galangan kapal yang didirikan oleh pemerintah Belanda dengan nama Marina di masa kolonialisme pada tahun 1939 dan berganti nama menjadi Kaigun SE 2124 saat penjajahan Indonesia oleh Jepang pada tahun 1942.
"Setelah kemerdekaan Indonesia, perusahaan galangan kapal ini dinasionalisasi oleh pemerintah dengan merubah namanya menjadi Penataran Angkatan Laut (PAL). Kemudian dan pada tanggal 15 April 1980 pemerintah mengubah status perusahaan dari Perusahaan Umum (Perum) menjadi Persereon Terbatas," kata Ekonomo Konstitusi, Defiyan Cori saat dihubungi Suara.com, Senin (3/4/2017).
Baca Juga: KPK Minta Direktur Keuangan PT PAL Serahkan Diri
Sejarah PT. PAL dan beberapa BUMN lainnya memang tak bisa dipisahkan dari penjajahan yang dilakukan oleh Belanda pada tanah air Indonesia yang kemudian dinasionalisasikan oleh Pemerintah. Proses nasionalisasi ini tentu tidak mudah dan memiliki konsekuensi sebagai badan usaha yang dulu beroperasi secara bisnis pada masa penjajahan Belanda. Atas hal itu, maka keuangan negara atau APBN juga menjadi bagian yang ikut menopang kelancaran nasionalisasi dan operasi BUMN sampai saat ini, termasuk keuntungan dan kerugian yang diperoleh.
"Kasus suap atau tindakan koruptif yang terjadi atas oknum pejabat di PT. PAL telah membuka luas perhatian publik bahwa ternyata korupsi tidak hanya terjadi pada para pejabat penyelenggara negara yang selama ini banyak disorot, seperti DPR, Kepolisian, Pengadilan dan Kejaksaan serta Kementerian dan lembaga teknis lainnya, tetapi potensi itu juga terjadi di badan-badan usaha yang dimodali dari keuangan negara," jelas ujar Defiyan.
Potensi korupsi di BUMN inilah yang selama ini luput menjadi perhatian para penegak hukum di KPK. "Apalagi peluang untuk melakukannya berpeluang lebih besar dibanding dengan lembaga lainnya, terutama pada BUMN yang bersifat monopolistik," tutup Defiyan.