Pada Kamis (30/3/2017), Koalisi Masyarakat Sipil Pengawal Konstitusi Sumber Daya Alam melalui Juru Bicaranya Ahmad Redi resmi mendaftarkan gugatan uji materiil PP No. 1 Tahun 2017 tentang Perubahan Keempat atas PP 23 No. 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Minerba serta Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (Permen ESDM) No. 5 Tahun 2017 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian di Dalam Negeri dan Permen ESDM No. 6 Tahun 2017 Tentang Tata Cara dan Persyaratan Pemberian Rekomendasi Pelaksanaan Penjualan Mineral ke Luar Negeri Hasil Pengolahan dan Pemurnian ke Mahkamah Agung. Koalisi yang terdiri atas berbagai lembaga diantaranya Publish What You Pay (PWYP), Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran (FITRA), Perkumpulan Indonesia Untuk Keadilan Global, Ikatan Alumni Universitas Indonesia (ILUNI UI), serta beberapa tokoh di bidang pertambangan diantaranya Yusri Usman, Marwan Batubara, Fahmy Radhi, serta beberapa pihak lainnya.
Ada 6 isi pokok gugatan Koalisi Masyarakat Sipil Pengawal Konstitusi Sumber Daya Alam. Antara lain:
1. Ketentuan tentang dibolehkanya Pemegang IUP Operasi Produksi melakukan penjualan ke luar negeri tanpa melakukan pemurnian di dalam negeri (Pasal 112C angka 4 PP 1/2017) merupakan pelanggaran terhadap Pasal 102 dan Pasal 103 UU Minerba karena menurut UU Minerba hasil tambang mineral harus dilakukan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri sebelum dijual ke luar negeri.
Baca Juga: Permen ESDM Soal Izin Ekspor Mineral Tambang Digugat ke MA
2. Pemberian izin ekspor terhadap mineral yang belum dilakukan pengolahan dan pemurnian (Pasal 10 Permen 5/2017 jo. Pasal 2 Permen 6/2017) Bertentangan dengan UU Minerba karena berisi Pemegang IUP Operasi Produksi dapat melakukan ekspor paling lama 5 tahun, dengan kondisi setelah memenuhi kebutuhan domestik (minimal 30 persen total kapasitas smelter) nikel dengan kadar < 1,7 persen dapat di eskpor dan Wash Bauxite ≥42 persen dapat dieskpor dengan jumlah tertentu. Pengaturan tersebut yang memperbolehkan ekspor dengan batasan tertentu merupakan pelanggaran norma wajib melakukan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 102 dan 103 UU Minerba. Artinya, UU Minerba menegaskan norma wajib tetapi Permen ESDM mengatur hanya untuk kondisi tertentu saja dan dapat di ekspor.
3. Pengaturan tentang pengolahan dan pemurnian di dalam negeri dalam bentuk Peraturan Menteri merupakan pelanggaran terhadap UU Minerba dan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Sesuai dengan UU Minerba dan UU 12/2011, pengaturan mengenai pengolahan dan pemurnian mineral hanya dapat dilakukan dalam bentuk PP dan tidak bisa disubdelegasikan lagi kepada Permen.
4. Permen ESDM No. 5/2017 dan Permen ESDM No. 6/2017 bertentangan dengan Pasal 5 UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan karena melanggar asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik, Pasal 5 huruf b yaitu “kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat” dan huruf c yaitu “kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan”. Karena Menteri ESDM bukan pejabat yang tepat untuk mengatur pengolahan dan pemurnian sesuai dengan Pasal 103 ayat (3) UU Minerba dan materi muatanya juga tidak sesuai dengan jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan, seharusnya diatur dalam PP oleh Presiden.
5. Proses dan Tahapan Pembentukan Permen 5/2017 dan Permen 6/2017 bertentangan dengan UU 12/2011. Kedua Permen tersebut sebagai turunan atau aturan pelaksanaan dari PP 1/2017 ditetapkan dan diundangkan secara bersamaan dengan PP 1/2017 pada hari yang sama tanggal 11 Januari 2017. Bagaimana mungkin Permen 5/2017 dan Permen 6/2017 sebagai aturan turunan atau delegasi dari PP 1/2017 yang dalam proses pembentukannya harus merujuk pada PP 1/2017 tetapi pada kenyataannya keluar bersamaan dengan PP 1/2017. Hal ini melanggar Pasal 1 angka 1 UU 12/2011 karena proses pembentukan peraturan seharusnya melalui tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan, serta Pasal 5 huruf g yang menyatakan “dalam membentuk Peraturan harus berdasar asas keterbukaan, yakni seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan”.
6. Perubahan Kontrak Karya menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) Operasi Produksi (Pasal 17 angka 2 Permen 5/2017) bertentangan dengan UU Minerba. Perubahan Kontrak Karya menjadi IUPK hanyalah “akal-akalan” Pemerintah agar pemegang Kontrak Karya masih dapat melakukan ekspor mineral mentah dan menghindari Pasal 170 UU Minerba yang mewajibkan pemurnian di dalam negeri. IUPK yang diatur dalam Permen ESDM tidak seperti yang dimaksud oleh UU Minerba yang diberikan di Wilayah Pencadangan Negara (WPN) yang dijadikan Wilayah Usaha Pertambangan Khusus (WUPK) dengan persetujuan DPR RI.
Selain itu, permohonan ini juga didukung dan diperkuat dengan keterangan ahli dari beberapa profesor dan pakar hukum diantaranya Prof. Dr. Yuliandri, SH., MH., Guru Besar dari Universitas Andalas, Prof. Dr. Suteki, S.H.,M.Hum, Guru Besar dari Universitas Diponegoro, Dr. Bayu Dwi Anggono, SH, MH, pakar hukum dari Universitas Jember dan beberapa pakar lainnya.
Bisman menegaskan bahwa PP 1/2017 serta Permen 5/2017 dan Permen 6/2017 telah mendegradasikan kehendak dan upaya strategis yang diamanatkan oleh Konstitusi dan UU Minerba untuk meningkatkan nilai tambah hasil penambangan mineral dengan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri.
"Rakyat Indonesia sangat dirugikan dengan kebijakan izin ekspor mineral mentah ini. Untuk itu Koalisi Masyarakat sipil mendukung dan mendesak Presiden Joko Widodo untuk konsisten melakukan kebijakan hilirisasi pertambangan mineral dengan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri sebagaimana telah dinyatakan beberapa waktu yang lalu dalam pengantar sidang kabinet," kata Bisman Bhaktiar, Ketua Tim Kuasa Hukum Koalisi Masyarakat Sipil, dalam keterangan resmi, Jumat (31/3/2017).