Permen ESDM Soal Izin Ekspor Mineral Tambang Digugat ke MA

Adhitya Himawan Suara.Com
Minggu, 02 April 2017 | 15:07 WIB
Permen ESDM Soal Izin Ekspor Mineral Tambang Digugat ke MA
Gedung Mahkamah Agung di Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat, Jumat (22/4/2016). [Suara.com/Adhitya Himawan]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Pada Kamis (30/3/2017), Koalisi Masyarakat Sipil Pengawal Konstitusi Sumber Daya Alam mendaftarkan gugatan uji materiil PP No. 1 Tahun 2017 tentang Perubahan Keempat atas PP 23 No. 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Minerba serta Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (Permen ESDM) No. 5 Tahun 2017 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian di Dalam Negeri dan Permen ESDM No. 6 Tahun 2017 Tentang Tata Cara dan Persyaratan Pemberian Rekomendasi Pelaksanaan Penjualan Mineral ke Luar Negeri Hasil Pengolahan dan Pemurnian ke Mahkamah Agung (MA). Koalisi ini terdiri dari berbagai lembaga diantaranya Publish What You Pay (PWYP), Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran (FITRA), Perkumpulan Indonesia Untuk Keadilan Global, Ikatan Alumni Universitas Indonesia (ILUNI UI), serta beberapa tokoh di bidang pertambangan diantaranya Yusri Usman, Marwan Batubara, Dr. Fahmy Radhi, serta beberapa pihak lainnya. 

Pendaftaran permohonan uji materi atas PP dan Permen ESDM ini dilakukan oleh Tim Kuasa Hukum Koalisi Masyarakat Sipil Kamis (30/3/2017)ke MA.  "Kami mendaftarkan dua permohonan uji materi ke Mahkamah Agung, yang pertama uji materi PP 1/2017 dengan Termohon Presiden Republik Indonesia dan yang kedua uji materi Permen ESDM 5/2017 serta Permen ESDM 6/2017 dengan Termohon Menteri ESDM,” kata Bisman Bhaktiar,  Ketua Tim Kuasa Hukum Koalisi Masyarakat Sipil dalam keterangan resmi, Jumat (31/3/2017).

Lebih lanjut Bisman mengatakan bahwa pengajuan gugatan ini merupakan kepedulian masyarakat sipil untuk melakukan koreksi atas kebijakan Pemerintah yang tidak tepat. Khususnya terkait dengan kebijakan hilirisasi sektor pertambangan mineral.

Baca Juga: Ini Alasan BUMN Tambang Tak Usah Beli Saham Freeport Indonesia

Menurut Jubir Koalisi Masyarakat Sipil Pengawal Konstitusi Sumber Daya Alam, Ahmad Redi, gugatan ini diajukan guna memastikan bahwa Pemerintah khususnya Menteri ESDM Ignasius Jonan dapat berhukum secara benar karena secara jelas, tegas, dan terang benderang bahwa UU Minerba melarang ekspor mineral yang belum diolah dan dimurnikan di Indonesia. "Ini diperkuat oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusan No. 10/PUU-VIII/2014, namun Menteri ESDM malah menyimpangi ketentuan Pasal 103 dan Pasal 170 UU Minerba dan Putusan MK," kata Redi dalam kesempatan yang sama.

Redi menjelaskan bahwa kesesatan lainnya adalah adanya norma dalam Permen ESDM yang mengatur bahwa Kontrak karya dapat menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Padahal dalam UU Minerba jelas bahwa IUPK lahir dari rezim Wilayah Pencadangan Negara (WPN) yang mendapat persetujuan DPR, diubah menjadi Wilayah Usaha Pertambangan Khusus (WUPK), lalu WIUPK yang ditawarkan ke BUMN. Apabila BUMN tidak berminat baru dilelang kepada swast secara lelang. Hal itu tegas dalam UU Minerba. "Kita ingin Menteri ESDM dapat berhukum secara lurus, waras, dan memastikan kepentingan nasional di atas kepentingan korporasi asing, khususnya PT Freeport Indonesia. Kebijakan minerba harus dikawal karena SDA ini titipan anak cucu yang harus memberikan sebesar-besar kemakmuran rakyat, bukan sebesar-besar kelompok tertentu," jelas Redi.

Menurur Redi, langkah gugatan ini merupakan langkah terakhir setelah Koalisi menyurati Presiden dan Menteri ESDM mencabut regulasi tersebut. Kolisi juga melaporkan Menteri ESDM atas dugaan maladministrasi dalam penyusunan regulasi minerba tersebut ke Ombudsman RI (ORI). ORI terus melakukan pemeriksaan dan tanda-tanda dugaan maladministrasi dalam pembentukan regulasi tersebut sudah terlihat, misal mengenai izin prakarsa dari Presiden dalam penyusunan RPP yang tidak ada, tidak adanya proses harmonisasi dan sinkronisasi formal oleh Kementerian Hukum dan HAM, serta tidak adanya partisipasi publik padahal UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mengatur hak publik untuk terlibat.

Gugatan ini didasari bahwa pertambangan mineral merupakan kekayaan alam tak terbarukan yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak. Oleh karena itu, pengelolaannya harus dikuasai oleh negara guna memberikan nilai tambah secara nyata bagi perekonomian nasional untuk mencapai kemakmuran dan kesejahteraan rakyat secara berkeadilan. Nilai tambah tersebut dapat dilakukan dengan lebih maksimal apabila dilakukan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Minerba.

Namun demikian, kenyataannya Pemerintah tidak konsisten melakukan kebijakan tentang pengolahan dan pemurnian di dalam negeri dan telah melanggar UU Minerba dengan mengizinkan kembali ekspor mineral mentah ke luar negeri melalui PP 1/2017 serta Permen ESDM 5/2017 dan 6/2017. Sampai saat ini telah berpuluh-puluh tahun sebagian besar mineral diekspor masih dalam bentuk bahan mentah, tanpa dilakukan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri terlebih dahulu.

"Kondisi ini mengakibatkan pertambangan mineral tidak menghasilkan nilai tambah (added value) maupun multiplier effect yang besar secara maksimal kepada rakyat karena kita telah menjual langsung “tanah dan air” ke luar negeri," tutup Redi.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI