Freeport Minta Waktu Negosiasi dengan Pemerintah Jadi 8 Bulan

Adhitya Himawan Suara.Com
Kamis, 30 Maret 2017 | 22:22 WIB
Freeport Minta Waktu Negosiasi dengan Pemerintah Jadi 8 Bulan
Kawasan Grasberg Mine milik PT. Freeport Indonesia (PTFI ) di Tembagapura, Mimika, Timika, Papua, Minggu (15/2). (Antara)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Direktur Jenderal Mineral dan batu bara (minerba) Bambang Gatot membenarkan bahwa PT Freeport Indonesia meminta negosiasi dengan pemerintah diperpanjang menjadi delapan bulan jika sebelumnya hanya enam bulan.

"Iya benar, itu untuk menambah diskusi yang belum ada hasil ini," kata Bambang Gatot usai ditemui di DPR, Jakarta, Kamis (30/3/2017).

Masa delapan bulan tersebut terhitung sejak aturan perubahan Kontrak Karya menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) dikeluarkan, dan pada 17 Februari 2017 Freeport mengancam akan arbitrase jika 120 hari pada hari tersebut tidak ada hasil.

Dari batas tersebut ditambah menjadi enam bulan dan hingga sekarang perpanjangan delapan bulan.

Baca Juga: Jonan Sebut Freeport Akhirnya Setuju KK Berubah Jadi IUPK

Sementara itu, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan menyampaikan beberapa perkembangan PT Freeport Indonesia terbaru kepada Komisi VII di waktu yang sama.

"Pada intinya prosesnya sudah memasuki tahap diskusi final dengan pemerintah. Dalam hal itu pokok diskusi dibagi menjadi tiga tahap," kata Jonan di Ruang Rapat Komisi VII.

Pertama, adalah permasalahan kewajiban PT Freeport Indonesia untuk menerima perubahan Kontrak Karya (KK) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Hingga saat ini PTFI bersedia menerima perubahan KK menjadi IUPK.

Jonan masih menegaskan bahwa untuk bisa melakukan eksport konsentrat, harus berupa izin IUPK, dan diharapkan segera selesai proses pergantiannya.

Kedua, adanya persyaratan yang diminta terkait perpajakan dan retribusi daerah setelah adanya perubahan IUPK. Freeport, menurut keterangan Jonan, menginginkan adanya ketetapan yang masih bisa diatur dan menurutnya domain ini ada di Kementerian Keuangan bukan pada Kementerian ESDM.

"Saya heran, padahal tarif pajaknya lebih rendah ketika masih skema Kontrak Karya. Mungkin yang dikhawatirkan ada pada retribusi daerah, misalnya, penggunaan air permukaan atau air sungai, bisa saja angkanya tidak cocok. Maka perlu diajak Pemerintah Daerah dalam menentukan kebijakan fiskal untuk memmentukan syarat IUPK," tutur Jonan.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI