Koalisi ResponsiBank mendesak Bank Mandiri untuk menghentikan pembiayaan kreditnya kepada perusahaan semen yang ditengarai merusak lingkungan dan mengancam sumber penghidupan masyarakat sekitar kawasan karst, Pegunungan Kendeng, Jawa Tengah.
Maria Lauranti, Koordinator Responsibank Indonesia menuturkan, dalam assessment 2014-2016 terhadap kebijakan pemberian kredit dan investasi yang dilakukan oleh Koalisi ResponsiBank Indonesia, Bank Mandiri tidak mendapatkan skor apapun pada sektor Pertambangan.
"Hal ini berarti, pertama, Bank Mandiri tidak memiliki kebijakan apapun mengenai sektor pertambangan berikut industri pengolahannya serta konstruksi, dan kedua, Bank Mandiri memiliki kebijakan untuk screening kredit/pinjaman, namun tidak mempublikasikannya," kata Maria dalam keterangan resmi, Sabtu (25/3/2017).
Baca Juga: Bank Mandiri Luncurkan Layanan Mandiri Online
“Dengan asumsi Bank Mandiri tidak memiliki kebijakan khusus dalam penyaluran pinjaman bagi sektor berisiko tinggi, hasil assessment terhadap Bank Mandiri dalam sektor pertambangan ini menunjukkan bahwa tidak ada kebijakan dari Bank Mandiri kepada debitur-debiturnya untuk menaati prinsip-prinsip hak asasi manusia maupun pelestarian lingkungan hidup yang sudah banyak diadopsi oleh sektor keuangan internasional,” tegas Maria.
Di tahun 2015, Walhi (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) dan Responsibank Indonesia telah melakukan studi kasus mengenai Pembiayaan PT. Semen Indonesia (Persero) Tbk di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Dukungan Bank Mandiri diberikan dalam bentuk pemberian fasilitas kredit sebesar Rp3,96 triliun, yang terdiri dari Rp3,46 triliun untuk KI (Kredit Investasi) dan Rp500 miliar untuk KMK (Kredit Modal Kerja) pembiayaan kebutuhan operasional pada masa pabrik beroperasi.
"Dengan demikian, peran Bank Mandiri menjadi satu mata rantai penting dalam aktivitas tambang dan produksi semen di kawasan CAT (Cekungan Air Tanah) Watuputih Rembang," ujar Maria.
Direktur Eksekutif TuK (Transformasi untuk Keadilan), Rahmawati Retno Winarni menyampaikan, OJK (Otoritas Jasa Keuangan) perlu mendorong perbankan di Indonesia agar memasukkan risiko sosial dan lingkungan sebagai persyaratan pemberian pinjaman, dan melakukan proses uji tuntas (due diligence) dan monitoring pelaksanaannya dalam proyek-proyek besar yang berisiko. OJK sebagai regulator di sektor keuangan sebenarnya telah memiliki Roadmap Keuangan Berkelanjutan sejak akhir 2014, namun hingga sekarang belum ada yang menjadi Peraturan OJK.
“Regulasi OJK itu diharapkan mampu memberikan aturan yang jelas dan tegas, mana pembiayaan yang bersiko terhadap lingkungan,” tegas Wiwin.
Koordinator PWYP (Publish What You Pay) Indonesia, Maryati Abdullah menuturkan bahwa pada kenyataannya, sebagian besar bank yang beroperasi di Indonesia belum memiliki kebijakan atau tidak mempublikasikan panduan pemberian pinjaman dan investasi yang kerap disebut ESRM (Environmental and Social Risk Management) atau ESG (Environmental and Social Governance).
“Padahal, transparansi dalam hal ini diperlukan bagi publik sebagai pihak ketiga yang menyimpan dana di Bank. Publik sebagai konsumen menggunakan layanan perbankan untuk menilai apakah bank ramah lingkungan dan menghormati hak asasi masyarakat terdampak atau tidak, “pungkas Maryati menutup pembicaraan.