Badan Pengurus Pusat (BPP) Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) mengungkapkan sejak PT Freeport Indonesia (PTFI) beroperasi di Kabupaten Mimika, Provinsi Papua pada 1993, perusahaan tersebut tidak memberikan ruang kepada pengusaha lokal untuk menjadi mitra kerjanya.
"Yang saya pahami kontribusi Freeport dalam memberikan ruang bagi anak Papua untuk menjadi kontraktor atau subkontraktornya itu kecil sekali," ujar Ketua Umum BPP Hipmi Bahlil Lahadalia, di Jayapura, Papua, Rabu (22/3/2017).
Ia menyerukan agar pengusaha lokal berani untuk mengungkapkan hal tersebut kepada publik karena Freeport telah mengambil banyak keuntungan dari hail usahanya mengeruk kekayaan alam Papua.
Baca Juga: CERI: Pemerintah Jangan Bermimpi Kuasai 51 Persen Saham Freeport
"Bahkan boleh saya katakan, dari kuku sampai rambut itu pengusaha Jakarta semua yang dapat. Harusnya hal seperti ini kita tidak boleh tabu dan takut untuk menyuarakan," kata dia.
Bahlil yang merupakan mantan Ketua BPD Hipmi Papua menyatakan dukungannya terhadap langkah pemerintah yang ingin memiliki saham mayoritas PTFI, namun ia juga mengingatkan pemerintah untuk meningkatkan peran pemerintah daerah dalam pengelolaan perusahaan tersebut.
"Hal ini kami telah kami komunikasikan dengan pemerintah, bahwa kami mendukung pemerintah untuk mengakuisisi 51 persen saham PTFI. Sudah barang tentu permintaan kami adalah memprioritaskan kepada para pengusaha Papua dan kalau bisa pemerintah Papua," ujarnya lagi.
Menurut dia, sebagai daerah yang merasakan langsung dampak dari eksplorasi bawah tanah PTFI, Papua harus diistimewakan ketika izin produksi PTFI akhirnya diperpanjang oleh pemerintah.
"Ini adalah bentuk permohonan kita agar Papua dijadikan prioritas karena tambang freeport berada di Papua. Jangan kita (Papua) hanya mendapat hasil turunan yang kecil, jangan musibahnya saja yang kita dapat tapi dagingnya kalau bisa diberikan dong," kata Bahlil.
Dia mengingatkan pemerintah yang menyangkut Freeprot tidak bisa terlepas dari pemerintah daerah yang ada di Papua.
"Di situ dibutuhkan kedewasaan dan 'political will' pemerintah untuk melakukan avermative dan memberikan ruang yang sebesar-besarnya bagi pemerintah dan pengusaha Papua untuk bisa berperan aktif dalam mengambil alih saham tersebut," katanya.
Bahlil pun memandang pemerintah harus konsisten mempertahankan sikap tegasnya terhadap Freeport bila perusahaan tersebut bersikeras tidak mau mengikuti aturan yang dibuat pemerintah terkait perubahan kontrak karya menjadi izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).
"Selama Freeport mengikuti aturan main yang diminta pemerintah 'it's oke', tapi kalau dia melawan atau tidak mengikuti undang-undang atau aturan, ya perlu kita pertimbangkan (menghentikan izin produksi Freeport)," katanya. (Antara)