HIPMI Kritik Iklim Investasi EBT di Indonesia Tidak Menarik

Adhitya Himawan Suara.Com
Jum'at, 10 Maret 2017 | 09:37 WIB
HIPMI Kritik Iklim Investasi EBT di Indonesia Tidak Menarik
Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi milik PGE, di Kamojang, Garut, Jawa Barat. [Antara]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Badan Pengurus Pusat Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (BPP Hipmi) menilai harga Energi Baru Terbarukan (EBT) di Tanah Air mesti dihitung sendiri. Harga di luar negeri, termasuk Timur Tengah, tidak bisa menjadi acuan sebab kondisinya jauh berbeda dengan situasi di dalam negeri.

“Harga EBT ini harus kita hitung sendiri. Lingkungan dan tantangan kita berbeda dengan di Timur Tengah,” ujar Ketua Bidang Energi BPP Hipmi Andhika Anindyaguna di Jakarta, Kamis (9/3/2017).

Dia mengatakan banyak penyebab membuat biaya investasi dan produksi di Indonesia jauh lebih tinggi dibandingkan negara di Timur Tengah.

Sebagaimana diketahui harga listrik EBT di beberapa negara di Uni Emirat Arab (UEA) memang lebih murah dibandingkan harga listrik EBT yang dijual di Indonesia. Harga listrik EBT di UEA dijual di kisaran 2,25 sen per kwh hingga 2,99 sen per kwh. Solar tenaga matahari 150 megawatt (MW) dijual dengan harga 2,99 sen per kwh, dan 200 MW 2,42 sen per kwh. Sedangkan di Indonesia, harga listrik EBT dipatok di kisaran 15 per kwh hingga 18 sen per kwh.

Baca Juga: HIPMI: Timur Tengah Potensial untuk Pendanaan Infrastruktur

Andhika mengatakan, iklim investasi EBT di UEA sangat kondusif sebab lahan diberikan gratis. Hal yang sama dengan biaya perizinan, dan sebagainya. Sedangkan Indonesia, harga lahan tiba-tiba melonjak saat akan dibebaskan. Tak hanya itu, biaya dana (cost of fund) juga sangat mahal.

“Di UEA biaya dana cuma dua persenan. pengusaha mendapat free tax. Jadi lingkungan usahanya sudah sangat berbeda,” ujar Andhika.

Tak hanya itu, biaya studi kelayakan, proses perizinan dan birokrasi yang lama serta bertele-tele membuat harga listrik di Tanah Air menjadi kian mahal. Melihat iklim semacam ini, Hipmi pesimistis, investasi EBT di Tanah Air akan menarik bagi investor. Padahal pemerintah tengah menggenjot target penggunaan energi baru terbarukan (EBT) untuk pembangkit listrik. Pemerintah bahkan menetapkan target cukup tinggi yakni sebesar 23 persen pada 2025.

“Kita agak pesimis target akan tercapai kapasitas terpasang 23 persen, kalau investasinya tidak menarik,” ujar Andhika.

Pemerintah telah menekan tarif listrik EBT semurah mungkin. Dalam Peraturan Menteri (Permen) ESDM nomor 12/2017 disebutkan tarif EBT sebesar 85 persen dari Biaya Pokok Penyediaan (BPP) daerah tempat pembangkit listrik EBT dibangun.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI