Direktorat Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus, Badan Reserse Kriminal Mabes Polri, berhasil ungkap kasus dugaan pemalsuan dokumen untuk meminjam kredit modal usaha/kerja (KMK) di 7 bank. Dua tersangka berinisial HS dan D saat ini sedang di tahan.
Menurut Direktur Dittipdeksus Brigjen Pol. Agung Setya, modus dalam kasus ini biasa disebut dengan pembobolan bank atau kredit macet, namun di dalamnya terdapat tindak kejahatan.
Ia menjelaskan, kronologis daripada pengungkapan kasus tersebut. Kata dia, berangkat dari persoalan pada tahum 2016 lalu, dimana industri perbankan Indonesia mengalami kelesuan sehingga tidak dapat meningkatkan keuntungan atau profit yang lebih besar dari pada tahun sebelumnya.
Selain itu, terjadi juga permasalahan pada NPL (non performing loan) atau kredit macet yang sudah mencapai 3,1 persen.
"Kondisi ini yang memicu kita semua di Dittipdeksus, subdit perbankan untuk mendalami dan kemudian mengambil langkah-langkah hukum terkait dengan hal-hal yang memicu NPL yang tinggi," kata Agung di Bareskrim Mabes Polri, Jalan Medan Merdek Timur, Gambir, Jakarta Pusat, Kamis (9/3/2017).
Menurut Agung, dalam kasus ini, untuk manjalan misinya, HS menggunakan modus yang samasekali baru. Di mana dia mengajukan kredit kepada 7 bank, dan kemudian memfailedkannya untuk menghindari kewajiban pembayaran kredit.
"Pelaku mengajukan kredit tidak hanya pada satu bank. Tapi pada tujuh bank. (bisa bertambah). Ada bank pemerintah ada juga bank swasta," ujar Agung.
Sebagaimana pengajuan kredit yang normal, pemohon atau pelaku akan mengajukan kredit kepada pihak bank yang dalam hal ini akan diterima oleh representatif manager kredit yang ada di bank. Di sana pelaku sudah mengajukan dengan dokumen pendukungnya atau dokumen permohonan. Pengajuan ini juga dilampiri dengan agunan.
Baca Juga: Kejaksaan Pekanbaru Eksekusi Terpidana Kredit Fiktif BNI
Kata Agung, kemudian semua dokumen-dokumen pendukung itu akan dilakukan pengecekan oleh representatif manager ini, bahwa dokumen tersebut benar atau tidak. Setelah itu, representatif penyidik suatu bank akan melakukan survei lagi terkait kebenaran dokumen maupun kebenaran agunan.
"Pelaku disini saudara HS. Mengajukan kredit di 7 bank dengan permohonan KMK (kredit modal kerja). KMK yang tadi dokumen permohonann sudah disurvei, lalu pelaku mempengaruhi representatif manager untuk kemudian melakukan hal-hal yang menyimpang. Sehingga kemudian permohonannya itu disetjui," tutur Agung.
Agung melanjutkan, hasil pengecekan formulir permohonan kredit modal kerja itu kemudian akan diajukan lagi kepada kepala cabang untuk diproses, dan akan diajukan kembali oleh kepala cabang ke direktur resiko untuk dilihat dan diuji kembali, apakah resiko kreditnya dinilai kembali. Direktur resiko itulah yang akan menyetujui atau tidak kredit tersebut.
Setelah disetujui oleh direktur resiko, maka akan segera ditetapkan besaran platform yang dapat diberikan kepada pemohon.
"Persetujuan itulah dengan penentuan platformnya maka dikembalikan kepada kepala cabang untuk segera dieksekusi pemberian kredit tersebut. Kemudian dibuatlah angka antara pemohon dan pihak bank. Kredit akan dicairkan berdasarkan pekerjaan. Karena ini modal kerja. Maka berapa kebutuhan yang diperlukan pemohon kredit itu harus dilengkapi dokumen-dokumen pendukungnya," ujar Agung.
Dalam kasus ini, HS sebagai tersangka mengajukan kredit modal kerja untuk bisnis terkait pengadaan batu split oleh PT. Rockit Altheway.
"Itu adalah perusahaan yang mengolah batu split. Yang kemudian kita tahu, setelah disetujui oleh kepala cabang tersebut. Lalu dieksekusi oleh kepala cabang dengan yang bersangkutan. Ternyata PO (Phurchase Order) yang diajukan oleh HS ternyata palsu," ujar Agung.
Menurut Agung, HS mengajukan kredit kepada tujuh bank yang tidak disebut namanya, dengan alasan bahwa ada 10 perusahaan yang akan menjadi klien dari PT. Rockit Altheway. Padahal, 10 perusahaan tersebut, setelah diperiksa belakangan, ternyata juga palsu. Semua dokumen yang diajukan atas nama 10 perusahaan adalah fiktif.
"Sehingga, saat itu kan bank juga belum memverifikasi 10 perusaan yang mana itu palsu, kemudian cairlah kredit itu. Sesuai dengan pertahapan. Jadi kalau dia memperoleh platform Rp200 miliar, maka dicairkannya itu tidak sekali tapi bertahap sesuai denga po yang diajukan oleh tersangka," tutur Agung.
"Jadi PO ini palsu.10 perusahaan yang dicantumkan juga palsu. Kita sudah periksa. Perusahaan itu dinyatakan palsu karena kop-nya tidak sesuai ya. Kemudian tanda tangannya oleh orang yang tidak juga sesuai dengan yang semestinya," Agung menambahkan.
Menurut Agung, pencairan terjadi pada bulan Maret hingga Desember tahun 2015. Total kerugian yang dialami oleh tujuh bank yaitu sebanyak Rp836 miliar.
Atas keterlibatannya dalam kasus itu, seorang representatif manager bank yang berinisial D, yang ikut membantu HS dalam memuluskan misinya, pun juga turut ditahan.
"Sekarang kita menetapkan dua orang tersangka yaitu saudara HS dan saudara D. Kasus ini akan terus dikembangkan," kata Agung.