Namun, untuk kepentingan jangka panjang investasi Freeport yang dimungkinkan dapat diperpanjang hingga 2041, maka dibutuhkan 'win-win outcome' yang menguntungkan kedua belah pihak. Sejak 2013 lalu Gubernur Papua, Lukas Enembe, telah mengusulkan 17 poin sebagai 'standing position' Pemerintah Papua yang harus dibijaki Freeport dalam kerangka renegosiasi.
"Karena itu, 17 poin dari Pemda dapat dijadikan acuan di dalam proses re-negosiasi Kontrak Karya Freeport," ujar mantan Staf Khusus Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tersebut.
Keempat, diperlukan jalan tengah dalam pola hubungan Freeport - masyarakat adat dan masyarakat Papua secara umum. Freeport hadir di tanah adat dengan kehidupan sosial masyarakat adat yang perlu disikapi dengan tepat.
Untuk itu, diperlukan skema baru yang tepat yang berkelanjutan dan berkeadilan dalam formula bentuk 'golden share' kepada masyarakat adat pemilik ulayat dan sebaliknya, tidak hanya sekedar 'charity fund' tanpa misi pemberdayaan dan bahkan dikontrol oleh Freeport Indonesia.
Baca Juga: Tokoh Amungme Kritik Kebijakan Freeport PHK Massal Karyawan
"Dalam konteks ini, Pemerintah perlu merancang pola penyertaaan saham yang memihak kepada masyarakat adat dalam skema 'golden share' kepada suku Amungme, Komoro, Moni, Dani, Duga, Damal, dan Mee, serta pola kelembagaan dalam mengelola dana 'golden share' itu. Tidak hanya itu, diperlukan skema bantuan keuangan Freeport kepada masyarakat Papua secara umum dalam konteks percepatan pembangunan wilayah adat Saireri, Ha'anim, La Pago, Me Pago dan Tabi. Hal ini sejalan dengan strategi pembangunan berbasis 5 adat yang telah dirancang dalam RPJMN tahun 2015-2019," katanya.
Kelima, isu Freeport merupakan momentum bagi Pemerintah dan Pemerintah Provinsi Papua untuk menata ulang skenario pembangunan Papua dan Papua Barat terkait kebijakan pengelolaan sumber daya alam dan minyak dan gas yang akan terus berkembang di Tanah Papua.
"Diperlukan formula yang berpihak bagi Papua guna akselerasi pembangunan dalam payung Otonomi Khusus, pelibatan masyarakat adat dan pengembangan spasial yang terpadu di Tanah Papua," ungkapnya.
Keenam, lanjut Velix, bahwa terlepas dari perdebatan payung hukum antara rezim kontrak karya dan rezim Ijin Usaha Pertambangan Khusus , para pihak perlu menyadari bahwa selama ini Freeport menjadi sumber utama, paling tidak, tumpuan tunggal investasi di Tanah Papua yang telah menggerakkan ekonomi Papua dengan segala pro-kontra.Hal itu seperti tampak dari serapan tenaga kerja orang asli Papua dalam operasi Freeport.
Akibatnya, kesenjangan antarwilayah tampak dalam pembangunan kewilayahan Papua. Hal ini disebabkan tidak adanya sentra-sentra ekonomi baru di berbagai daerah di Pulau Papua yang berguna bagi pemerataan pembangunan desa-kota, antarsektor dan antarwilayah.
Karena itu, perlu jalan tengah di dalam mensepakati substansi atau materi sebelum berbicara soal Kontrak Karya ataukah IUPK.