Soal Polemik Freeport, Perlu Ada Formula Jalan Tengah

Rabu, 08 Maret 2017 | 11:59 WIB
Soal Polemik Freeport, Perlu Ada Formula Jalan Tengah
Buruh PT Freeport Indonesia berdemonstrasi di depan Gedung Kementerian ESDM, Jakarta, Selasa (7/3/2017). [Suara.com/Oke Atmaja]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Dalam beberapa waktu terakhir ini, isu PT Freeport Indonesia menyita perhatian semua pihak, baik dalam negeri maupun  internasional. Diakui bahwa perbincangan soal eksploitasi tambang tembaga dan emas oleh Freeport McMoran senantiasa melekat dalam diskursus politik pembangunan nasional maupun politik pembangunan Papua, baik dari sisi positif dan sisi negatif, pro dan kontranya. Tampak semua pemangku kepentingan dengan membela dan mempertahankan posisi dan kepentingannya dengan konstruksi argumentasinya.

Menanggapi hal tersebut, pengamat kebijakan publik, Velix Wanggai mengatakan, isu Freeport Indonesia, tampaknya diperlukan suatu formula jalan tengah, 'win-win mindset', dalam menemui solusi bersama yang disepakati semua kepentingan.

Pertama, semua pihak harus memiliki platform bersama dalam mencari solusi soal Freeport. Diakui, investasi asing adalah bagian penting dalam pembangunan nasional dan pembangunan Papua.

"Suka atau tidak suka, Freeport hadir di Indonesia sejalan dengan sejarah geo-politics dan geo-economics Indonesia di transisi pemerintahan Orde Baru. Bagi rezim Orde Baru, Freeport adalah modal asing pioner dalam struktur ekonomi awal Orde Baru," kata Velix dalam keterangan tertulisnya, Rabu (8/3/2017).

Baca Juga: Tokoh Amungme Kritik Kebijakan Freeport PHK Massal Karyawan

Karena itu, berbicara masa depan Freeport Indonesia adalah tidak hanya berdialog soal kalkulasi ekonomi semata, namun soal Freeport adalah soal geo-politics Indonesia di kawasan Asia Pasifik.

Untuk itu, keputusan jalan tengahnya adalah memadukan latar historis Freeport dan kondisi perkembangan pembangunan kekinian yang menuntut penyesuaian struktural (structural adjustment) aturan pertambangan.

Kedua, lanjut Velix, dalam renegosiasi Freeport, para pihak perlu mengedepankan kepentingan masa depan pembangunan Tanah Papua. Selama ini pihak Freeport Indonesia memperoleh porsi saham yang besar dan tersisa kecil untuk Pemerintah Pusat. Sedangkan Pemerintah Provinsi Papua tidak ada ruang memiliki saham.

"Karena itu, jalan tengahnya adalah diperlukan kebijakan asimetris untuk Pemerintah Provinsi Papua, Pemerintah Kabupaten Timika dan beberapa kabupaten sekitarnya untuk memperoleh porsi saham dan berbagai benefit lainnya," katanya.

Hal ini sejalan dengan semangat Otonomi Khusus bagi Papua dan Papua Barat, yang memerlukan formula baru Dana Bagi,skema kepemilikan saham dan skema pajak lainnya yang lebih berpihak bagi kepentingan percepatan pemberdayaan masyarakat Papua.

Ketiga, diperlukan jalan tengah dalam hubungan Pemerintah Papua - Freeport Indonesia. Diakui bahwa selain ada sisi negatif, namun kehadiran investasi Freeport Indonesia telah memiliki dampak positif dalam pertumbuhan pembangunan Papua, Timika dan sekitarnya. Paling tidak, manfaat finansial langsung kepada pemerintah lebih dari 16,5 milliar dilar AS sejak tahun 1991 dan manfaat tidak langsung lainnya dalam hal tenaga kerja, pendapatan asli daerah, dan pergerakan ekonomi lokal lainnya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI