Krisis ekonomi yang hebat melanda Indonesia pada tahun 1997-1998. Krisis ini akhirnya melahirkan era reformasi yang ditandai dengan mundurnya Presiden Soeharto dari jabatannya.
Secara politik, Rezim Orde Baru mengklaim telah menjalankan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Berbagai program pembangunan ekonomi dijalankan dengan kondisi politik yang lebih stabil dan tidak berisik karena adamya berbagai pembatasan hak bersuara dan berserikat.
Di bidang ekonomi, selain membuka peluang masuknya modal asing maka pemerintahan, Orde Baru juga tak pernah menegakkan sistem ekonomi yang diperintahkan oleh UUD 1945 secara murni dan konsekuen, bahkan oleh para ekonom arus utama sekalipun yang terlibat dalam pemerintahan Presiden Soeharto banyak diisi oleh para scholar lulusan USA. Perintah UUD 1945 pada pasal 33 itu adalah mengenai perekonomian bangsa yang disusun sebagai usaha bersama berdasar azas kekeluargaan yang sebut sebagai Sistem Ekonomi Konstitusi atau Sistem Ekonomi Koperasi telah diperkenalkan pula sebelumnya oleh guru besar ekonomi UGM almarhum Prof. Mubyarto sebagai Ekonomi Pancasila walau hanya secara normatif.
Baca Juga: Kebijakan Ekonomi 1967 Membuka Peluang Penjajahan Bentuk Baru
"Sistem Ekonomi Konstitusi yang kami perkenalkan sejak masih sebagai mahasiswa di Universitas Gadjah Mada tahun 1997 dan kembali dipublikasikan pada tanggal 18 Agustus 2009 di harian Kompas merupakan hasil dialog kami dengan almarhum Profesor Mubyarto atas ketidaktepatan menggunakan istilah Ekonomi Pancasila," kata Defiyan saat diwawancarai oleh Suara.com, Rabu (8/3/2017).
Pernyataan ekonom dan mantan Menteri di era pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, yaitu Rizal Ramli di acara Rakornas Partai Keadilan Sejahtera (PKS) pada Selasa (7/3/2017) di Depok, Jawa Barat, yang mengkritik PKS sebagai bagian dari pendukung ekonomi neo-liberalisme dan tak pernah membahas Ekonomi Konstitusi, dinilai seperti menepuk air didulang terpercik muka sendiri. Menurutnya, selama ini Rizal Ramli selama menjabat di pemerintahan tak pernah menyebut istilah Ekonomi Konstitusi, apalagi membuat sebuah konsepsi mengenai Sistem Ekonomi Konstitusi itu.
"Terlebih lagi, istilah Ekonomi Konstitusi lebih banyak kami sosialisasikan dalam konteks memperbaiki struktur dan tatanan perekonomian bangsa yang menyimpang dari konstitusi secara gagasan dan praksis hal mana tak dilakukan banyak pengamat Ekonomi," ujar Defiyan.
Ekonom Konstitusi pulalah sebutan yang membedakan Pengamat Ekonomi Konstitusi dengan Ekonom arus utama yang lebih banyak menganalisis ekonomi makro secara teknis dan tak pernah menyentuh struktur dan tatanan ekonomi yang sesuai konstitusi. Bahkan sampai saat ini tak ada seorangpun akademisi yang membuat konsepsi mengenai Sistem Ekonomi Konstitusi ini dan menjadi buku ajar bagi sebuah mata kuliah untuk mengganti buku ajar Sistem Ekonomi Kapitalisme yang disampaikan oleh para dosen dan akademisi di berbagai Perguruan Tinggi, hal mana itu dilakukan oleh para ekonom kapitalis dan komunis walaupun hasilnya buruk, berkali-kali krisis dan tidak berkeadilan sosial.
Selayaknya para ekonom secara wajar dan obyektif dalam mengembangkan ide dan pemikirannya dan memberikan apresiasi yang wajar dengan menjunjung tinggi etika akademik dan intelektual di bidang ekonomi dan yang lainnya apalagi pada akhirnya sampai mengklaim sebuah terminologi. "Semoga Rizal Ramli paham atas apa yang disampaikannya dan mengakui sumber dari Ekonomi Konstitusi yang dimaksud supaya kita bisa bersinergis dalam menata ekonomi yang lebih adil dan sejahtera serta tidak asal cuplik," tutup Defiyan.