Manajemen PT Freeport Indonesia dinilai tidak beritikad baik dan bermaksud tidak akan menyelesaikan Amandemen Kontral Karya. Selain itu, PT FI juga dianggap tidak menaati ketentuan UU nomor 4 tahun 2009 tentang mineral dan batu bara.
"Padahal selama ini, pemerintah telah dan akan terus berupaya maksimal mendukung semua investasi di Indonesia baik investasi asing maupun investasi dalam negeri tanpa terkecuali," kata Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI), Yusri Usman, dalam keterangan resmi, Sabtu (4/3/2017).
Dalam hal pertambangan mineral logam, Pemerintah tetap berpegangan pada UU Mineral dan Batubara No 4/2009 dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah No 1/2017 sebagai revisi dan tindak lanjut semua peraturan yang telah terbit sebelumnya. Dengan mengacu dan berpegang pada UU dan Peraturan Pemerintah tersebut, Pemerintah tetap menghormati semua isi perjanjian yang telah dibuat sebelumnya. dan masih sah berlaku.
Baca Juga: Sikap PT Freeport Indonesia Ibarat "Air Susu Dibalas Air Tuba"
Sayangnya, pihak PT FI juga menolak rekomendasi ekspor tersebut. " Saya berharap kabar tersebut tidak benar karena Pemerintah mendorong PT FI agar tetap melanjutkan usahanya dengan baik, sambil merundingkan persyaratan-persyaratan stabilisasi investasi, termasuk perpanjakan izin, yang akan dikoordinasi oleh Ditjen Minerba dan Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu serta BKPM. Saya berharap PT FI tidak alergi dengan adanya ketentuan divestasi hingga 51 persen yang tercantum dalam perjanjian Kontrak Karya yang pertama antara PTFI dan Pemerintah Indonesia," ujar Yusri.
Memang ada perubahan ketentuan divestasi di dalam Kontrak Karya yang terjadi di tahun 1991, yaitu menjadi 30 persen karena alasan pertambangan bawah tanah. Namun divestasi 51 persen adalah aspirasi rakyat Indonesia yang ditegaskan oleh Presiden Joko Widodo, agar PTFI dapat bermitra dengan Pemerintah sehingga jaminan kelangsungan usaha dapat berjalan dengan baik dan rakyat Indonesia serta rakyat Papua khususnya, juga ikut menikmati sebagai pemilik tambang emas dan tembaga terbesar di Indonesia.
Terkait wacana PT FI membawa persoalan ini ke arbitrase, itu adalah langkah hukum yang menjadi hak siapa pun. Namun Pemerintah berharap tidak berhadapan dengan siapa pun secara hukum, karena apa pun hasilnya dampak yang ditimbulkan akan kurang baik dalam sebuah relasi kemitraan. Namun itu langkah yang jauh lebih baik daripada selalu menggunakan isu pemecatan pegawai sebagai alat menekan Pemerintah
Berdasarkan dari fakta fakta yang terungkap, jelas bahwa PT FI selama beroperasi mengambil mineral berharga di Indonesia telah terindikasi melakukan pelanggaran baik terhadap isi perjanjian Kontrak Karya, UU Lingkungan hidup apalagi terhadap UU Minerba. Sehingga atas dasar itulah menjadi perhatian dan pertimbangan berharga bagi Pemerintah untuk tidak lagi memperpanjangnya izin operasi produksinya paska berakhirnya kontrak karya pada desember 2021.
Untuk mengurangi kerugian lebih besar dari investor asing yang tidak beritikad baik dalam memenuhi komitmennya membangun industri / smelter untuk program hilirisasi mineral logam berharga didalam yang diamanatkan oleh UU , tanpa harus menunggu ujung dari bentuk penyelesain apakah melalui perundinga ataupun terus berpekara di Makamah Arbitrase , maka Pemerintah harus segeralah tugaskan Konsorsium BUMN tambang untuk membangun smelter untuk menampung konsentrat dari PTFI dan PT Amman Mineral Sumbawa ( ex Newmont ), sambil menunggu ambil alih kelola operasi pada akhir 2021.
"Belajarlah dari pengalaman selama ini seperti ambil alih kelola PT Inalum , Blok Migas Chevron ( CPP Blok & Siak ) dan Blok Mahakam yang sejak awal malah ditakuti-takuti oleh Pejabat ESDM, ternyata tidak masalah setelah ditugasi kepada Pertamina," tutup Yusri.