Konsorsium BUMN Tambang Diminta Bangun Smelter Bagi Freeport

Adhitya Himawan Suara.Com
Minggu, 05 Maret 2017 | 13:09 WIB
Konsorsium BUMN Tambang Diminta Bangun Smelter Bagi Freeport
Kawasan Grasberg Mine milik PT. Freeport Indonesia (PTFI ) di Tembagapura, Mimika, Timika, Papua, Minggu (15/2). (Antara)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI) Yusri Usman mengkritik mengkritik sikap Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang menyatakan siap membeli saham PT Freeport Indonesia.

Sebelumnya, Deputy Bidang Usaha Pertambangan , Industri Strategis , dan Media Kementerian BUMN Fajar Harry Sampurno diberbagai media, pada Jumat ( 3/3/2017) menyatakan bahwa pemerintah sanggup membeli saham PT Freeport Indonesia (FTFI). Harry bahkan menyatakan Kementerian BUMN sudah berkirim surat ke Menteri Keuangan dan Menteri ESDM menyampaikan kesiapan dan menjelaskan skema pembiayaannya, termasuk juga saat ini Pemerintah lagi mempersiapkan pembentukan induk perusahaan Holding Tambang.

"Bisa jadi sikap Kementerian BUMN ini lebih menpertontonkan ke publik sesungguhnya selama ini mereka telah "tertidur pulas dan baru terbangun dari mimpi indahnya " kata Yusri dalam keterangan tertulis, Sabtu (4/3/2017).

Baca Juga: LPMAK Klaim Freeport Jadi Penggerak Roda Ekonomi Mimika

Yusri menganggap Kementerian BUMN tidak paham atas persoalan telah menerpa Pemerintah yang tidak kunjung selesai sejak Januari 2014 sampai dengan saat. Padahal masalah utamanya adalah bagaimana menggiring PT Freeport Indonesia untuk dapat menyesuaikan Kontrak Karya ke UU Minerba nomor 4 tahun 2009, khususnya soal realisasi divestasi saham 51 persen , pajak dan royalti serta membangun smelter untuk pemurnian mineral mentah yang dapat meningkat penerimaan negara berlipat dan berefek ganda bagi pertumbuhan ekonomi nasional.

Apalagi mengacu harga tawaran nilai saham 10 , 63 persen oleh PT FI pada awal tahun 2016 seharga 1, 7 miliar Dolar Amerika Serikat (AS). Sementara menurut taksiran Kementerian ESDM berdasarkan Permen ESDM nmr 27 tahun 2013 bahwa harga yang wajar adalah 630 juta Dolar AS. Kondisi ini membuat sampai habis kontrakpun, tidak akan didapat kesepakatan harga yang wajar antar para pihak. Apalagi ketika dihubungkan dengan waktu berakhir kontrak pada tahun 2021 tentu kebijakan membeli saham saat ini ibarat membuang garam kelaut.

"Faktanya saat ini sudah 3 tahun PT FI tidak memberikan devidennya kepada Pemerintah. Seharusnya kementerian BUMN lebih cerdas berinisiatif aktif menugaskan konsorsium BUMN Tambang ( PT Inalum ,PT Antam , PT , Timah , PT Bukit Asam dan Bank BUMN / Mandiri, BNI , BRI dan BTN ) bergerak menghimpun modal awal pembangunan smelter senilai 2, 5 miliar Dolar AS," tutur Yusri.

Selain itu, pemerintah juga perlu mengakomodasi permintaan saham 10 persen bagi Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) Kabupaten Mimika dan Propinsi Papu Barat. "Ini contoh yang lazimnya dibidang produksi lapangan migas selama ini dalam bentuk Participasing interest 10 persen bagi daerah penghasil migas dan tambang," jelas Yusri.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI