Rini Dikritik Sebabkan Kinerja Holding BUMN Perkebunan Merosot

Adhitya Himawan Suara.Com
Senin, 27 Februari 2017 | 20:26 WIB
Rini Dikritik Sebabkan Kinerja Holding BUMN Perkebunan Merosot
Menteri BUMN Rini Soemarno di Pansus Pelindo II, Jumat (4/12/2015). (Suara.com/Kurniawan Mas'ud)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Berbicara tentang holdingisasi BUMN, yang melahirkan banyak pujian bagi Kementerian BUMN dan Pemerintahan Jokowi-JK, tidak mengherankan jika dibarengi juga dengan pandangan bertolakbelakang. Di antara bergulirnya beberapa pendapat, komentar dan pandangan, berikut salah satu ulasan dari salah seorang pengamat kita.

Holding PT Perkebunan Nusantara III (Persero) dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 72 tahun 2014 tanggal 17 September 2014, tentang Penambahan Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia ke dalam Modal Saham Perusahaan Perseroan (Persero) PT Perkebunan Nusantara III. Ditetapkan bahwa Negara Republik Indonesia melakukan penambahan penyertaan modal ke dalam modal saham PT Perkebunan Nusantara III (Persero) sebesar 90 persen, yang berasal dari pengalihan saham milik Negara Republik Indonesia pada PTPN I (Persero), PTPN II (Persero), PTPN IV (Persero), PTPN V (Persero), PTPN VI (Persero), PTPN VII (Persero), PTPN VIII (Persero), PTPN IX (Persero), PTPN X (Persero), PTPN XI (Persero), PTPN XII (Persero), PTPN XIII (Persero), dan PTPN XIV (Persero).

Pembentukan Holding BUMN Perkebunan dilakukan dengan tujuan awal untuk memberikan peluang yang lebih besar bagi PTPN dalam meningkatkan daya saing global (world class holding company), percepatan penciptaan nilai (creating values), peningkatan kontribusi bagi kesejahteraan, dan kemajuan bangsa, serta menguatnya profesionalitas maupun citra BUMN Perkebunan. Dengan skala ekonomi dan ukuran bisnis yang semakin besar, Holding BUMN Perkebunan diharapkan setara dan bahkan mungkin lebih besar dari pelaku bisnis perkebunan di negara-negara ASEAN dan mampu saling bersaing dengan mereka untuk meningkatkan efisiensi dan inovasi.

 

Baca Juga: Holding BUMN Migas Tidak Segampang Penggabungan Bank BUMN

Dengan terbentuknya Holding BUMN Perkebunan diharapkan permasalahan yang dihadapi oleh masing-masing BUMN Perkebunan dapat diatasi dengan terjadinya integrasi dan sinergi antar BUMN Perkebunan (PTPN I sampai dengan PTPN XIV), yang tersebar di hampir seluruh wilayah Indonesia maupun peningkatan efisiensi dengan skala ekonomi yang semakin besar, sehingga kinerja BUMN Perkebunan diharapkan akan meningkat drastis.

"Namun, semua itu kini hanyalah angan-angan. Apa yang kita cita-citakan bersama untuk Holding Perkebunan saat ini belum dapat terwujud. Bahkan, di tahun 2016, di bawah kepemimpinan Elia Massa Manik, kinerja Holding Perkebunan semakin terpuruk," kata Yusri Usman, Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI), di Jakarta, Senin (27/2/2017).

Kinerja Perseroan pada berbagai indikator, baik operasional maupun finansial, relatif menurun dibandingkan periode sebelumnya. Hal ini akibat dari berbagai faktor teknis operasional pengelolaan kebun dan faktor lain yang berpengaruh.

Diketahui, total hutang Perseroan sampai dengan Desember 2016 sebesar Rp60,20 triliun, yang merupakan hutang terbesar sepanjang sejarah berdirinya Perusahaan. Dari total jumlah utang tersebut, Rp35,79 triliun di antaranya merupakan utang kepada perbankan.

Besarnya nilai utang perusahaan menyebabkan beberapa PTPN kesulitan menjalankan operasonalnya, akibat cash flow yang harus digunakan untuk pembayaran beban bunga kepada Perbankan. Jika tidak segera dilakukan penanganan secara serius, akan timbul potensi terjadinya default pembayaran utang kepada pihak perbankan/lembaga keuangan di beberapa PTPN.

Hampir seluruh indikator produksi dan produktivitas komoditi mengalami penurunan selama tahun 2016. Komoditi Sawit produktivitas TBS turun menjadi 16,48 Ton/Ha dari sebelumnya 18,08 Ton/Ha, CPO turun menjadi 3,66 Ton/Ha dari sebelumnya 4,09 Ton/Ha, dan produktivitas inti sawit turun menjadi 0,68 Ton/Ha dari sebelumnya 0,79 Ton/Ha. Sedang komoditi tebu produktivitas gula milik Pabrik Gula turun menjadi 2,08 Ton/Ha dari sebelumnya 2,50 Ton/Ha.

Dari penurunan hasil produksi komoditi selama Elia Massa Manik menjabat, terjadi potensi pendapatan yang tidak dapat diraih perusahaan untuk komoditi kelapa sawit sebesar Rp 3,95 triliun, dan untuk komoditi tebu sebesar Rp 1,33 Triliun. Total potensi pendapatan yang tidak dapat diraih untuk seluruh komoditi akibat penurunan hasil produksi adalah senilai Rp 6,13 Triliun. Hal ini mengingat harga jual hampir seluruh komoditi Perkebunan selama tahun 2016 relatif lebih tinggi dibandingkan harga jual komoditi pada tahun 2015. Tentunya hal tersebut mempengaruhi peningkatan kerugian Holding Perkebunan menjadi Rp 847,32 Miliar, dari sebelumnya Rp613,27 miliar.

"Hal ini tentunya merupakan kerugian yang sangat besar umumnya, bagi negara Indonesia, dan khususnya bagi Holding BUMN Perkebunan," ujar Yusri.

Selain karena faktor iklim yang kurang mendukung, penurunan hasil produksi PTPN disebabkan oleh rendahnya semangat dan etos kerja serta motivasi karyawan yang berdampak langsung pada rendahnya produktivitas karyawan. Hal tersebut menunjukkan lemahnya leadership pada level manajerial, yang kurang menguasai teori tentang perkebunan serta tidak menguasai permasalahan di lapangan. Hal ini dapat dilihat dari lemahnya implementasi Standard Operating Procedure (SOP) yang telah ditetapkan beserta mekanisme pengawasannya.

"Rini Soemarno selaku Menteri BUMN, berkontribusi besar terhadap penurunan kinerja Holding Perkebunan ini. Yakni dengan memilih dan mengangkat Elia Massa Manik sebagai Direktur Utama Holding BUMN Perkebunan. Elia Massa Manik bukan seorang yang berlatarbelakang perkebunan, sehingga banyak penanganan kepada stake holder dan utamanya karyawan yang salah kaprah, karena tidak memperhatikan kearifan lokal," jelas Yusri.

Keterpurukan BUMN Perkebunan sangat disayangkan mengingat perannya yang strategis bagi negara dan masyarakat Indonesia, khususnya dalam hal penyerapan tenaga kerja yang sangat besar (tenaga kerja tetap berjumlah 133.000 orang) dan pertumbuhan ekonomi daerah sekitar Perkebunan. Jumlah tenaga kerja yang sangat besar ini tentunya memerlukan penanganan khusus, yang berbeda dibandingkan sektor usaha lainnya.

Yusri menegaskan bahwa posisi Direktur Utama Holding Perkebunan BUMN seharusnya dijabat oleh orang yang berlatarbelakang usaha perkebunan dan memiliki track record baik dalam bidang produksi, serta, setidaknya memahami kearifan lokal yang berbeda-beda di tiap daerah Indonesia, mengingat kultur usaha perkebunan yang paternalistik.

"Dengan penggantian pucuk pimpinan Holding Perkebunan, diharapkan apa yang menjadi tujuan awal Pembentukan Holding dapat dicapai, yakni menjadi Perusahaan yang mampu bersaing, menjadi yang terdepan pada lingkup regoinal ASEAN," tutup Yusri.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI