Rumah murah menjadi harapan bagi masyarakat menengah bawah untuk dapat memiliki rumah. Program sejuta rumah yang digelontorkan pemerintah pun menarik minat banyak pengembang untuk membangun rumah murah tersebut karena permintaan pasar yang sangat besar.
Rumah yang dijual dengan Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) menjadi menarik dengan penetapan suku bunga 5 persen tetap selama 20 tahun, dapat bantuan uang muka, dan uang muka yang sangat rendah sampai 1 persen.
"Namun benarkah ketersediaan rumah FLPP ini merupakan solusi bagi masyarakat untuk memeroleh rumah?," kata CEO Indonesia Property Watch (IPW), Ali Tranghanda, dalam keterangan resmi, Senin (27/2/2017).
Analisis IPW menunjukkan bahwa ternyata secara umum pengembangan rumah FLPP yang banyak dibangun di daerah-daerah penyangga Jakarta, tidak cocok untuk masyarakat yang masih bekerja di Jakarta. Pasalnya berdasarkan survei yang dilakukan terhadap 125 proyek FLPP di Bodetabek, memerlihatkan bahwa 58,6 persen rumah FLPP yang dibangun tersebut jauh dari akses transportasi massal, khususnya kereta api.
Baca Juga: Ini Penjelasan IPW Terkait Program DP Rumah 0 Persen Ala Anies
Wilayah Tangerang diperkirakan memiliki 67 persen proyek rumah FLPP yang jauh dari akses tersebut, diikuti oleh Bekasi 59 persen, dan Bogor 52 persen. Akses jaringan kereta api di wilayah Tangerang relatif belum dapat menjangkau proyek-proyek FLPP, selain itu harga tanah yang sudah tinggi di wilayah ini membuat para pengembang tidak dapat lagi mengembangkan proyek rumah FLPP di sekitaran stasiun kereta api. Bahkan di Bekasi dengan relatif memiliki lebih banyak rumah FLPP pun kesulitan untuk menemukan lokasi yang tidak jauh dari stasiun kereta api.
Agak berbeda dengan wilayah Bogor yang perkembangan perumahan murah sejak dulu sudah terbentuk di sekitaran stasiun kereta api sepanjang Citayam, Bojong Gede, sampai Cilebut. Namun demikian bila kita melihat ke arah Cileungsi yang telah banyak dibangun rumah murah namun keterjangkauan akses stasiun kereta api masih sangat jauh. Proyek yang ada hanya mengutamakan harga yang murah tanpa memerhatikan bagaimana nanti masyarakat dapat menjangkau tempat kerjanya dengan mudah.
“Lokasi rumah FLPP yang jauh dari kereta api tidak sesuai bagi masyarakat yang masih bekerja di Jakarta. Biaya transportasi dan waktu tempuh yang jauh tidak menjadikannya efektif,” jelas Ali.
Hal ini harus menjadi perhatian serius bagi pemerintah, jangan sampai target Program Sejuta Rumah hanya bersifat fisik. Artinya jangan sampai banyaknya rumah yang terbangun tapi tidak bermanfaat bagi masyarakat pembelinya. Tanah-tanah yang berada di sekitaran jaringan transportasi massal harusnya sudah ‘diamankan’ pemerintah untuk nanti dibangun rumah murah atau rusun murah.
Saat ini hal tersebut tidak terjadi karena tanah-tanah yang ada telah dikuasai pengembang dan mekanisme pasar yang berjalan. Karena itu ketersediaan bank tanah milik pemerntah di simpul-simpul akses tersebut harus dapat dicarikan solusinya. Integrasi antara jaringan transportasi massal (MRT, LRT, kereta api) dengan lokasi perumahan harus sesegera mungkin mendapat perhatian dari pemerintah.
Banyak masyarakat yang ‘terjebak’ memaksakan diri membeli rumah FLPP, namun ternyata malah biaya transportasi bertambah dan waktu tempuh menjadi sangat lama sehingga produktivitas menurun. Namun demikian fenomena ini memang agak sulit untuk dihindari. Dalam perkembangan kota seperti Jakarta yang sangat pesat dan beban lalu lintas yang menimbulkan kemacetan dimana-mana, harus juga disikapi oleh Pemprov DKI Jakarta dengan menyediakan rusun untuk kaum pekerja urban.