Suara.com - Jurang pembatas yang memisahkan si kaya dan si miskin di Indonesia ternyata semakin melebar. Bahkan, Ketimbangan kesejahteraan ekonomi di RI menjadi terburuk keenam dalam daftar negara seluruh dunia.
Ketimpangan tersebut, seperti dilansir AFP, Kamis (23/2/2017), tercermin dari hasil penelitian organisasi nirlaba Oxfam yang menunjukkan kekayaan 4 orang terkaya di Indonesia setara dengan penghasilan 100 juta rakyat miskin.
"Tahun 2016, kekayaan 4 orang terkaya di Indonesia mencapai 25 miliar Dolar AS (Rp 325 triliun). Jumlah ini melebihi jumlah gabungan kekayaan 100 juta orang miskin yang hanya Rp 255 miliar," ungkap periset Oxfam.
Merujuk pada data Forbes tahun 2016, keempat orang terkaya di Indonesia itu secara berturut-turut adalah: Hartono bersaudara (Budi dan Michael); Susilo Wonowidjojo; Anthoni Salim; dan, Eka Tjipta Widjaja.
Baca Juga: Ruki Ikut Pertemuan Anies, Bantah Wakili PPP
Hartono bersaudara (PT Djarum) memiliki kekayaan senilai 17,1 miliar Dolar AS atau setara Rp 221 triliun. Susilo Wonowidjojo, yang juga dikenal sebagai taipan tembakau, menguasai kekayaan 7,1 miliar Dolar AS (Rp 91 triliun).
Sementara Anthoni Salim, bos PT Indofood, memiliki kekayaan 5,7 miliar Dolar AS (sekitar Rp 74 triliun). Sedangkan bos besar Sinarmas grup, Eka Tjipta, memunyai 5,6 miliar Dolar AS atau Rp 72,8 triliun.
Ketimpangan itu menjadi ironi, karena Indonesia dinilai tengah berada dalam masa "ledakan ekonomi" (economy booms).
"Indonesia menikmati era 'ledakan ekonomi' setelah krisis 1998, dan mampu mereduksi jumlah warga yang hidup dalam kemiskinan akut. Tapi, kesenjangan antara si kaya dan si miskin semakin akut pula. Bahkan, kesenjangan itu berkembang lebih pesat ketimbang turunnya persentase warga miskin," terang peneliti Oxfam.
Dengan kata lain, penghasilan ekonomi yang terbilang besar dari situasi "ledakan ekonomi" tersebut tidak terdistribusikan secara merata ke seluruh lapiran masyarakat.
Baca Juga: Ungkap 'Pembunuh' Prince, Sinead O'Connor Malah Minta Maaf
Menurut Oxfam, kondisi tersebut terutama disebabkan sistem perpajakan yang tak efektif untuk menyokong peningkatan taraf kehidupan masyarakat dari kalangan ekonomi lemah.
"Seluruh data ini mengartikulasikan, Presiden Joko Widodotelah gagal memenuhi harapan untuk melawan ketimpangan ekonomi. Pemerintah Indonesia juga gagal meningkatkan pengeluaran di bidang pelayanan publik, serta memaksa korporasi dan orang-orang kaya membayar pajak lebih tinggi," tandasnya.