Freeport Bawa Indonesia ke Arbitrase, DPR: Tidak Perlu Khawatir

Minggu, 19 Februari 2017 | 20:14 WIB
Freeport Bawa Indonesia ke Arbitrase, DPR: Tidak Perlu Khawatir
Kawasan Grasberg Mine milik PT. Freeport Indonesia (PTFI ) di Tembagapura, Mimika, Timika, Papua, Minggu (15/2). (Antara)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Wakil Ketua Komisi VII DPR Satya Yudha meminta pemerintah tidak khawatir dengan langkah PT. Freeport Indonesia mengajukan arbitrase ke Badan Hukum Internasional. Arbitrase diajukan karena perusahaan tambang asal Amerika Serikat tersebut menolak perubahan aturan izin ekspor konsentrat dengan syarat mengubah status perizinan dari Kontrak Karya menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus. Freeport menilai perubahan aturan tersebut tidak memberikan kepastian investasi jangka panjang terhadap Freeport.

"Pemerintah harus kuat. Kita pernah menang waktu Newmont melakukan arbitrase. Tidak ada hal yang mesti dikhawatirkan. Negara kita berdaulat, tentunya harus berani banding," kata Satya di gedung Dewan Pers, Jakarta Pusat,Minggu (19/2/2017).

Aturan terkait status Freeport dan perusahaan tambang lainnya, kata Satya, pemerintah sudah mengetahui konsekuensinya. Itu sebabnya, Satya meminta pemerintah tetap menjalankan kebijakan demi kedaulatan negara.

Satya mengapresiasi Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Ignasius Jonan yang tidak terlalu dipusingkan dengan masalah arbitrase. Jonan lebih memilih dibawa ke arbitrase daripada merumahkan beberapa pegawai Freeport.



"Seperti dikatakan Menteri ESDM, jangan gunakan karyawan yang dibenturkan ke pemerintah. Itu kita hindarkan lah, karena kita ingin situasi suasana investasi yang kondusif," katanya.

Pangkal persoalan terjadi pada bulan lalu setelah izin ekspor konsentrat Freeport habis. Pemerintah kemudian menerbitkan PP Nomor 1 Tahun 2017 yang mengatur perusahaan tambang mineral harus mengubah statusnya dari KK menjadi IUPK. Dengan adanya perubahan izin ini, maka Freeport bisa melakukan ekspor konsentrat.

Selain itu, dalam aturan tersebut, Freeport juga harus menaati Peraturan Menteri ESDM Nomor 5 Tahun 2016 yang mengatur perusahaan tambang harus membangun smelter dalam lima tahun dan melepas 51 persen sahamnya dalam jangka waktu 10 tahun.

Hal ini dinilai oleh Freeport tidak memberikan kepastian investasi jangka panjang bagi perusahaan tambang asal Amerika Serikat ini. Sehingga Freeport membawa Indonesia ke arbitrase.

Baca Juga: Kerugian Banjir Bandang di Sulut Capai Rp166,8 M

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI