Isu Masuknya Jutaan Pekerja Cina ke Indonesia Tidak Masuk Akal

Selasa, 07 Februari 2017 | 14:25 WIB
Isu Masuknya Jutaan Pekerja Cina ke Indonesia Tidak Masuk Akal
Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) melakukan aksi long march dari kawasan Bundaran HI menuju Istana, Jakarta, Senin (31/10). [suara.com/Kurniawan Mas'ud]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Isu serbuan tenaga kerja asing (TKA) ramai diberitakan di berbagai media massa dan menyembar di media sosial. Isu ini semakin membesar dengan dibumbui berbagai macam isu tambahan, seperti memunculkan angka yang sangat fantastis 20 juta TKA Cina masuk ke Indonesia tanpa dokumen resmi, lalu mereka membawa ideologi tertentu untuk merongrong NKRI, hingga kegiatan intelejen dan spionase.

"Ini semua adalah sebuah kekhawatiran yang terlalu berlebihan," kata Juru Bicara Front Persatuan Demokrasi (FPD), Vivi Widyawati, dalam keterangan resmi, belum lama ini.

Data Badan Koordinasi Penanaman Modla (BKPM) menunjukkan realisasi investasi asing sepanjang 2016 sebesar Rp396 triliun. Target ini ternyata melewati target pemerintah sebesar Rp386 triliun. Untuk pertama kali dalam sejarah, investasi Cina daratan pada triwulan IV 2016 sebesar 1 miliar Dolar Amerika Serikat (AS), merebut posisi modal Jepang di peringkat kedua.

Merujuk pada data tersebut sekilas menunjukkan bahwa Cina menjadi negara investor besar, menanamkan modalnya ke banyak negara-negara lain, juga Indonesia. Namun jika dilihat lebih dalam, menurut data China Labour Bulletin (https://www.clb.org.hk/) awal tahun 2016 terjadi PHK besar-besaran sekitar 1,8 juta pekerja di Cina sektor tambang, laporan terkini terjadi lagi PHK sebanyak 6 juta orang yang bekerja di perusahaan-perusahaan negara (BUMN-Cina).

Baca Juga: Urine Berbau Menyengat, Waspadai Kondisi Penyakit Berikut!

"Angka ini akan jauh lebih besar lagi jika ditambah lagi dengan pekerja di sektor swasta," ujar Vivi.

Mirip seperti yang terjadi di Indonesia, karena minimnya lapangan kerja orang berbondong-bondong pergi keluar negeri menjadi tenaga kerja asing untuk mencari penghidupan yang lebih baik. Ironisnya kehidupan para pekerja migran tidak selalu lebih baik dari sebelumnya.

Pekerja Asing adalah juga kelas buruh, namun mempunyai posisi yang lebih lemah dibandingkan kaum buruh umumnya di dalam negeri. Karena posisi yang lemah tersebut, mereka mengalami kebrutalan eksploitasi yang bertubi-tubi. Pertama mereka terlempar dari pasar kerja dalam negerinya sehingga harus pergi jauh untuk mendapatkan pekerjaan, kedua karena berada diluar negerinya mereka tidak terlindungi dan tidak ada jaminan kepastian bekerja terutama pekerja yang undocumented, bahkan sama sekali tidak mendapatkan hak-hak sipil dan politik seperti berorganisasi, menyampaikan pendapat dan menuntut upah yang lebih tinggi. Ketiga, secara sosial mereka mengalami kesulitan beradaptasi karena kedunguan prasangka rasial yang tumbuh mengakar dalam masyarakat berkelas. "Pada kondisi tertentu mereka seringkali mengalami intimidasi dan penyiksaan fisik diluar batas rasa kemanusiaan," jelas Vivi.

Oleh sebab itu, FPD menganggap tidak masuk akal jika telah terjadi eksodus jutaan pekerja dari Cina ke Indonesia, karena mendatangkan pekerja dari luar negara lokasi produksi, tetap terikat dengan logika antara ongkos buruh dengan keuntungan. Jika mendatangkan pekerja dari Cina membuat ongkos buruh lebih tinggi dibandingkan dengan mempekerjakan pekerja dalam negeri yang melimpah dan murah maka dengan sendirinya logika eksodus ini telah gugur.

Kedua, para TKA ini adalah juga buruh yang dipekerjakan oleh para majikan pemilik modal dengan kondisi kerja yang parah dan upah yang rendah. Biasanya bekerja di sektor tambang, perkebunan, industri padat karya, dan proyek-proyek infrastruktur. Kondisi yang sama dialami oleh para TKI di luar negeri.

Baca Juga: Ini 5 Cara Mengatur Keuangan dengan Baik

Ketiga, sentimen rasial ini sengaja diciptakan untuk mengaburkan dan mengalihkan perhatian dari permasalahan yang sebenarnya terjadi. Upaya mengkotak-kotakkan kaum buruh berdasarkan identitas adalah upaya memecah belah persatuan kaum buruh. Kita dikondisikan untuk melihat saudara senasib kita sebagai saingan dalam mendapatkan pekerjaan, terutama jika mereka datang dari ras yang berbeda, negeri yang berbeda, dan agama yang berbeda.

Keempat, mereka bukanlah pekerja ilegal. Menggunakan istilah 'pekerja ilegal' itu sendiri adalah sebuah kesalahan. Ironisnya istilah itu digunakan oleh pimpinan serikat buruh. Tidak ada yang namanya manusia ilegal, mereka hanya tidak ada dokumen resmi (undocumented) dan terjebak dalam mata rantai perdagangan manusia (traficking) yang dilakukan oleh sekelompok mafia terorganisir.

Kelima, sesungguhnya lawan utama kaum pekerja (asing maupun dalam negeri) adalah pemilik modal yang serakah dan sistem ekonomi Kapitalisme yang menjadikan pekerja sebagai budak semata. Sistem ekonomi ini, bukanlah untuk kemakmuran kelas pekerja, tetapi sebaliknya, untuk kepentingan dan kemakmuran kelas pemilik modal. "Kalau modal saja tidak mengenal kebangsaan, maka perjuangan kaum buruh juga harus keluar dari sekat-sekat nasional," tutur Vivi.

FPD menyerukan kepada seluruh buruh dan rakyat Indonesia untuk menentang segala bentuk sentimen rasial yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat kita. FPF menolak perspektif nasionalisme sempit yang justru memecah belah persatuan buruh. Selain itu, para pekerja berhak hidup dan bekerja dimanapun ia inginkan untuk mencari penghidupan yang lebih baik. Ini seharusnya menjadi prinsip yang harus kita perjuangkan bersama.

FPD juga menyerukan kaum buruh untuk bersatu dan bersama-sama melawan sistem ekonomi Kapitalisme yang menindas kaum buruh. "Membangun solidaritas tanpa batas antar seluruh elemen kaum buruh, tani, mahasiswa, perempuan dan rakyat tertindas lainnya tanpa memandang suku, agama dan ras," pungkas Vivi.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI