Holding BUMN Migas Tidak Segampang Penggabungan Bank BUMN

Adhitya Himawan Suara.Com
Sabtu, 04 Februari 2017 | 14:15 WIB
Holding BUMN Migas Tidak Segampang Penggabungan Bank BUMN
Kantor pusat Pertamina di Jalan Medan Merdeka Timur, Jakarta Pusat, Sabtu (12/3/2016). [Suara.com/Adhitya Himawan]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Kemarin Pertamina harus menghadapi kenyataan ditinggalkan 2 orang pucuk pimpinan tertingginya, yakni Dwi Soetjipto dan Ahmad Bambang masing-masing sebagai Direktur Utama dan Wakil Direktur Utama.

Isu perpecahan diantara kedua pucuk pimpinan tersebut yang ditengarai menjadi pemicu diberhentikannya Direktur Utama dan Wakil Direktur Utama Pertamina oleh Kementerian BUMN selaku pemegang saham dari BUMN Migas Plat Merah tersebut. 

"Selain isu perpecahan, rumor lainnya yang juga berkembang adalah mengenai kebijakan Pertamina yang mengakibatkan Indonesia harus mengimpor BBM Jenis Solar tanpa justifikasi yang kuat," kata Iqbal Tawakal, Koordinator Indonesian Community for Energy Research (ICER), dalam keterangan resmi, Sabtu (4/2/2017). 

Baca Juga: Presiden Diminta Evaluasi Menteri BUMN dan Komisaris Pertamina

Sangat disayangkan adanya kekisruhan pada Pertamina yang menyebabkan lengsernya kedua orang tersebut ditengah upaya Pertamina menuju World Class Company.

Pondasi yang dibangun oleh Karen Agustiawan dan dilanjutkan oleh Dwi Soetjipto sebenarnya sudah cukup bagus walaupun masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan, yang utama adalah permasalahan financing ditahun 2018 dimana Pertamina mendapatkan perintah untuk mengelola 8 Wilayah kerja Migas yang sudah habis masa kontraknya. 

Ide BUMN Holding Migas tidak semudah menggabungkan Bank bank BUMN pada awal tahun 1998 menjadi Bank Mandiri, kompleksitas dan juga tarik menarik kekuasaan pada sektor migas masih sangat kencang.

Pertamina hendaknya dibiarkan berkolaborasi dengan PGN untuk membangun dan memperkuat Industri Strategis Nasional yang benar-benar fokus dalam menjalankan amanat Undang-Undang Dasar tahun 1945 pasal 33. 

Sinergi BUMN antara Pertamina dan juga PGN baiknya lebih ditingkatkan misalnya dalam hal distribusi penyaluran gas sehingga bisa menekan harga gas industri dan ujungnya tentu saja mempunyai multiplier efek yang tinggi bagi Perekonomian Nasional. "Bukannya dipaksakan dijadikan satu yang pada akhirnya memunculkan perusahaan monopoli yang berpotensi menghasilkan 'mafia-mafia' baru," ujar Iqbal.

Pengelolaan Hulu Migas

Pertamina melalui Direktorat Hulunya mempunyai PHE dan juga Pertamina EP, dan PGN dengan Saka Energy adalah anak perusahaan BUMN Migas Indonesia yang makin hari mempunyai portfolio atas pengusaaan cadangan yang sangat bagus.

Hendaknya ini memotivasi Pemerintah dalam menugaskan kedua BUMN tersebut menjadi National Oil Company (NOC) kelas dunia dengan memberikan keleluasaan kedua BUMN tersebun dalam belanja modalnya dalam rangka eksplorasi. Setoran deviden dari kedua BUMN tersebut hendaknya digantikan dengan belanja modal dalam rangka ekplorasi untuk menambah cadangan migas nasional.

Wacana peleburan SKK Migas kedalam Pertamina juga patut dikritisi, dimana Pertamina hendaknya fokus dalam usahanya menjadi World Class Company, biarlah Pemerintah membuat entitas baru dalam bentuk BUMN sebagai amanat dari amar keputusan MK sebagai BUMN yang mengelola hulu migas sebagaimana Pertamina sewaktu menjalankan UU 8/71. "Makin banyak BUMN Migas dan masing-masing mempunyai tugas yang jelas pada akhirnya akan memperkuat Ketahanan Energi Nasional," tutup Iqbal.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI