Anggota Dewan Energi Nasional Periode 2009-2014, Mukhtasor, mengatakan bahwa kegaduhan di Pertamina telah berlangsung kronis menahun. Namun antiklimaks yang terjadi Jum'at kemarin (3/2/2017) menyajikan bukti jelas bahwa Kementrian BUMN gagal menciptakan tatakelola BUMN yang baik.
"Rekrutmen Komisaris Pertamina juga gagal menempatkan orang-orang yang benar-benar mandiri dan konsisten," kata Mukhtasor dalam keterangan resmi, Sabtu (4/2/2017).
Pencopotan Direktur Utama Pertamina terjadi semena-mena justru ketika prestasi Pertamina naik dan bergerak menuju posisi yang ditempati perusahaan migas internasional. Pembubaran Petral, transformasi dan efisiensi, program pembangunan kilang untuk peningkatan kemandirian energi, kinerja dan prestasi finasial, keberhasilan BBM nasional satu harga dan sejumlah keberhasilan lain seharusnya mendapatkan apresiasi Pemerintah. Bukan justru melakukan pencopotan menejemen puncaknya dengan alasan mengada-ada.
Baca Juga: KSPMI: Monyet pun Memimpin Pertamina Pasti Untung
Jika alasan pelengseran tersebut adalah ketidakkompakan antar direksi, justru Kementrian BUMN dan Komisaris dalam hal ini yang paling bertanggungjawab.
"Ketidakkompakan yang terjadi makin kentara setelah adanya restrukturisasi organisasi direksi. Posisi Wakil Direktur Utama adalah posisi yang diada-adakan," ujar Muhktasor.
Restrukturisasi dengan menambah posisi Wakil Direktur Utama ternyata bukan karena alasan strategis perusahaan, apalagi alasan kepentingan negara. Buktinya ketika Direktur Utama bisa didongkel, posisi Wakil Direktur Utama itu dihapus atau setidaknya sampai kini dibiarkan tanpa pejabat pelaksana tugas. Padahal posisi Wakil Direktur Utama itu adalah kreasi yang umurnya baru tiga bulan. Sekarang dikosongkan.
"Kejadian ini bisa memberi pesan kepada publik bahwa restrukturisasi itu memang alat atau sarana pendongkelan. Karena itu pertanyaannya, Menteri BUMN dan Komisaris Pertamina bekerja untuk siapa? Apakah untuk mereka yang terganggu program transformasi dan efisiensi Pertamina? Apakah buntut pembubaran Petral? Apakah untuk mereka yang tidak setuju Indonesia mampu mencukupi kebutuhan BBM mandiri dari kilang BUMN di dalam negeri? Apakah karena bisnis dan kuota impor BBM terancam?," jelas Guru Besar Institut Teknologi Surabaya (ITS) tersebut.
Ia meminta Presiden Joko Widodo untuk segera melakukan evalusi kepada Menteri BUMN dan Komisaris Pertamina agar BUMN yang mengelola hajat hidup orang banyak ini tidak menjadi bancakan kelompok kepentingan dan agar Pertamina benar-benar menjadi kuat sebagai tangan negara mewujudkan kemandirian dan ketahanan energi nasional.