Pemerintah baru saja meluncurkan Paket Kebijakan Ekonomi Berkeadilan. Ini merupakan paket kebijakan yang sangat bagus dan layak didukung, karena mencerminkan visi pemerataan dan keadilan sosial.
"Reformasi Agraria sebagai pilar penyangga kebijakan ini, dan pajak sebagai instrumen kebijakannya," kata Yustinus Prastowo, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA).
Menurutnya, ide pengenaan pajak atas lahan tidak produktif (Unutilized Asset Tax) dipilih sebagai instrumen pemerataan dan penciptaan keadilan sosial. Namun agar kebijakan ini efektif, implementasinya perlu dipikirkan, baik level regulasi (jenis pajak apa yang tepat) dan teknis (administrasinya paling mungkin dan mudah).
Baca Juga: Penerimaan Pajak Hingga Awal Februari 2017 Capai Rp69,9 Triliun
Basis pengenaan pajak bisa dua, pengusahaan (lahan tidak produktif) dan penguasaan (kepemilikan berlebih). Bisa juga sekalian diatur, tanah/bangunan yang dijual kurang dari 5 tahun dianggap spekulasi sehingga dikenai pajak lebih tinggi.
Pemerintah mewacanakan penerapan, antara Capital Gain Tax ataukah Pajak Progresif. Keduanya jenis pajak berbasis PPh, akan dikenakan saat ada transaksi penjualan/pengalihan.
Capital Gain Tax adalah pajak atas keuntungan (gain) yaitu selisih antara harga jual dan harga perolehan/harga beli. Misalnya tanah harga perolehan Rp 100 juta, dijual Rp 500 juta. Berarti ada selisih Rp 400 juta. Ini yang dipajaki, misalnya 5%. Berarti pajaknya 5 persen x Rp 400 juta sebesar Rp 20 juta.
Adapun Pajak Final Progresif adalah pengembangan dari PPh atas Pengalihan Hak atas Tanah/Bangunan yang dikenakan atas nilai pengalihan (nilai transaksi). Progresif karena sasarannya tanah yang menganggur atau kepemilikan kedua, ketiga, dst. Contoh di atas, misalnya tarif 5 persen x Rp 500 juta= Rp 25 juta.
Kelebihan dan kekurangan dari CGT, model ini adalah jenis pajak yang ideal, karena dikenakan atas keuntungan (gain) sehingga lebih fair sesuai prinsip pajak: dikenakan atas tambahan kemampuan ekonomis.
Kelemahan CGT adalah ketersediaan basis data, yaitu data harga perolehan tanah dan data kepemilikan. Siapa sasarannya dan berapa nilai asetnya. Maka perlu integrasi data kepemilikan dan data nilai tanah yang baik, sinergi antara BPN dan Ditjen Pajak.
Disisi lain, Pajak Final Progresif (PFP), bisa dianalogikan dengan pajak kendaraan, saat kita memiliki kendaraan lebih dari satu, kendaraan kedua, ketiga, dst dikenai tarif progresif. PFF adalah modifikasi dari pajak final yang sudah ada, tinggal diubah tarif progresif untuk tanah menganggur atau kepemilikan kedua, ketiga, dst.
Kelemahan PFP, tidak ideal seperti CGT karena basisnya transaksi, orang cenderung menghindari nilai pasar. Maka tantangannya adalah penyesuaian NJOP yang kontinu sehingga mendekati harga pasar.
Baik CGT maupun PFT sama-sama punya kelemahan: (1) dikenakan saat adanya transaksi, padahal skema disinsentif ini justru akan efektif saat dikenakan tahunan (periodik) sehingga mendorong pemilik untuk mengusahakan lahan sehingga produktif, atau menjualnya; (2) selama ini ada BPHTB untuk pembeli. Karena ini domain Pemda, maka sulit untuk mengikuti perubahan kebijakan Pusat. Perlu adanya koordinasi yang lebih baik.
"Terkait kelemahan CGT dan PFP, maka justru harus ada pajak yang dikenakan periodik (tiap tahun) dengan tarif progresif (seperti atas kendaraan), agar menjadi insentif orang untuk mengusahakan lahannya atau menjualnya. Maka PBB (Pajak Bumi Bangunan) jadi pilihan yang mungkin. Hanya saja, kembali ke problem inkompatibilitas Otda, PBB P2 (Perdesaan Perkotaan) adalah domain Pemda. Perubahan harus via UU dan ada koordinasi pengaturan supaya adil," jelas Yustinus.
Dengan demikian cukup jelas, ide yang baik ini perlu didukung namun juga perlu dipikirkan efektivitas implementasinya. Jangan sampai ada ketidakadilan baru (BPHTB tetap tinggi, tiap daerah beda perlakuan), dan juga menciptakan loopholes untuk melakukan penghindaran pajak.
Ini momentum terbaik untuk mulai memikirkan kebutuhan Comprehensive Tax Reform , sebuah reformasi perpajakan yang menyeluruh, menyentuh dimensi kebijakan, regulasi, dan administrasi, dan bukan tambal sulam. Dengan demikian, ada injeksi visi baru sistem perpajakan yang berkeadilan. Revisi UU Perpajakan perlu dipertimbangkan menjadi revisi menyeluruh terhadap seluruh UU terkait (UU Perbankan, UU Adminduk, UU di bidang Pertanahan, dan UU Perpajakan) termasuk mandat harmonisasi, sinkronisasi, dan integrasi dengan sektor lain.
"Pemerintah perlu segera memberikan penjelasan yang utuh dan menyeluruh, agar tujuan kebijakan ini tidak menimbulkan keresahan di kalangan pelaku usaha real estate , atau kelompok masyarakat lainnya. Bahwa sasaran dan tujuan kebijakan ini cukup jelas dan tidak akan menimbulkan distorsi, bahkan menangkal upaya spekulasi dan melindungi akses warga negara pada tempat tinggal yang merupakan hak dasar, termasuk mendapatkan sumber daya berupa pajak untuk belanja sosial," tutup Yustinus.