Indonesia adalah negara agraris yang mempunyai penduduk terbesar keempat di dunia. Dari seluruh luas daratan di Indonesia sebesar 189 juta hektar, 2/3 atau 64 persen di antaranya adalah kawasan hutan dengan luas sekitar 121 juta hektar.
"Sedangkan sisanya adalah kawasan non hutan (69 juta hektar)," kata Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Darmin Nasution, di Istana Bogor, Jawa Barat, Selasa (31/1/2017).
Jika dihitung berdasarkan kawasan non hutan saja, kepadatan penduduk di Indonesia menempati peringkat ke-2 dunia dengan tingkat kepadatan penduduk 4,26 jiwa/hektar. Indonesia hanya berada di bawah India sebagai negara paling padat penduduknya dengan tingkat kepadatan 5,78 jiwa/hektar.
Baca Juga: Atasi Kesenjangan Ekonomi, Pemerintah Luncurkan 3 Kebijakan
Jawa merupakan pulau terpadat (56 persen penduduk Indonesia tinggal di Jawa), tersubur, teririgasi, sekaligus motor perekonomian Republik Indonesia. Namun, Jawa juga adalah pulau paling besar jumlah penduduk termiskinnya. Di sisi lain, pertumbuhan ekonomi Jawa pun paling pesat. Sehingga kebutuhan lahan di Jawa sangat penting.
Untuk itu, perlu ada sebuah kebijakan berbasis lahan yang memberikan akses kepada pihak yang paling termarjinalisasi, yaitu petani tanpa lahan, penduduk miskin perkotaan dan pedesaan, nelayan.
Pemerintah memiliki program Reforma Agraria.
Masalahnya, lahan yang tersedia sebagai objek TORA (Tanah Objek Reforma Agraria) seluas 9,5 juta Ha sebagian besar berada di luar Jawa. Karena itu, pemerintah perlu mengharmonisasikan program Reforma Agraria dengan Kebijakan Ekonomi Berkeadilan ini.
Selama ini, penguasaan lahan secara berlebihan oleh pihak-pihak tertentu menyebabkan terjadinya ketimpangan. Karena itu pemerintah akan melakukan pendataan terhadap kepemilikan lahan, land bank, izin yang dimiliki maupun kebun yang sudah ditanami di sektor perkebunan di seluruh Indonesia.
Paralel, pemerintah akan merumuskan kebijakan pengembangan dan peremajaan kebun rakyat secara bertahap. Dari 8 komoditas perkebunan, 7 komoditas menguasai 52 persen lahan perkebunan dan menghidupi 15,5 juta jiwa, namun hanya memiliki nilai tambah kurang dari 30 persen. Penyerapan tenaga kerja pada 7 komoditas perkebunan ini pun relatif mandeg, sehingga pemerintah memandang perlu menetapkan kebijakan untuk mendorong peranan swasta, khususnya di luar komoditas kelapa sawit.
Komoditas seperti tebu, teh, karet, kelapa, kakao, kopi dan cengkeh memerlukan kerja sama swasta yang lebih banyak demi mendorong terbentuknya perkebunan rakyat berbasis koperasi yang mempunyai manajemen yang baik dan produktivitas tinggi. "Peranan swasta terutama diharapkan dalam hal penyediaan bibit, peningkatan rantai nilai, peningkatan kualitas, dan menjadi offtaker atau avalis," pungkas Darmin.