Indonesia termasuk negara yang mendapat limpahan kekayaan sumber daya alam (SDA) secara meruah, termasuk kekayaan Hutan, Minyak dan Gas (Migas), serta Mineral dan Batu Bara (Minerba). Untuk pemanfatan SDA secara optimal, Founding Father telah mengatur dalam Pasal 33 UUD 1945, ayat 3 yang berbunyi: “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
"Namun, amanah konstitusi tersebut tidak pernah dilaksanakan secara murni dan konsekwen, siapa pun Presidennya. Dampaknya, SDA yang dikandung oleh Ibu Pertiwi berangsur ludes, tanpa bisa memberikan kemakmuran bagi rakyat," kata Peneliti Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM, Fahmy Radhi, dalam keterangan resmi, belum lama ini.
Salah satu penyebab ludesnya SDA tersebut adalah kebijakan Pemerintah yang mengarah pada “Penjarahan SDA secara Legal”, seperti yang terjadi pada kebijakan relaksasi ekspor Minerba Mentah. Undang-undang (UU) Nomor 4 tahun 2009 tentang Minerba jelas-jelas telah melarang ekspor Minerba Mentah, tanpa diolah dan dimurnikan di Smelter dalam negeri. Namun, baru-baru ini Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 tahun 2017 tentang Kegiatan Usaha Pertambangan. PP ini menjadi dasar bagi Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) mengeluarkan Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 5 Tahun 2017 tentang kelonggaran (relaksasi) ekspor Minerba Mentah selama lima tahun ke depan terhitung sejak Januari 2017.
Baca Juga: PUSHEP Nilai Pemerintah Inkonsisten Jalankan UU Minerba
Padahal, komitmen Presiden Joko Widodo sebelumnya sangat mendukung pengolahan dan pemurnian Minerba Mentah di Smelter dalam negeri. Pada saat peresmian pabrik Nikel di Morowali tahun lalu, Presiden Joko Widodo dengan sangat tegas mengatakan bahwa: “Indonesia jangan lagi mengekspor Minerba Mentah, tapi mari kita olah untuk menciptakan nilai tambah bagi bangsa Indonesia”. "Kenapa tiba-tiba komitmen Presiden Joko Widodo bisa berubah dengan mengeluarkan PP Nomor 1 tahun 2017, yang mengijinkan relaksasi ekspor Minerba Mentah?," ujar Fahmy.
Selain melanggar UU 4/2009, kebijakan relaksasi ekspor sudah mengarah pada “Penjarahan Minerba Mentah” dari Bumi Indonesia. Pasalnya, sudah lebih 70 tahun lamanya SDA telah dikeruk secara besar-besaran dan diekspor dalam bentuk Minerba Mentah. Nilai tambah ekspor Minerba Mentah yang dinikmati bangsa ini teramat rendah, sedangkan keuntungan perusahaan tambang berlipat-lipat.
Dengan demikian, kebijakan relaksasi ekspor Minerba Mentah menyebabkan negara menanggung opportunity loss, kehilangan kesempatan memperoleh pendapatan lebih besar, yang seharusnya bisa untuk memakmurkan rakyat. Hilangnya pendapatan terserbut sesungguhnya merupakan bentuk penjarahan Minerba Mentah oleh perusahaan tambang, yang dilegalkan melalui kebijakan relaksasi ekspor, yang diatur dalam Permen ESDM no. 5 tahun 2017.
Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM mendesak kepada Presiden Joko Widodo untuk meninjau Kebijakan Penjarahan Minerba Mentah, dengan membatalkan PP Nomor 1 tahun 2017 dan Permen Nomor 5 tahun 2017. Kembali lah kejalan yang benar dengan tetap menerapkan UU Nomor 4/2009, yang melarang ekspor Minerba Mentah tanpa diolah dan dimurnikan di Smelter dalam negeri. "Kami juga menyerukan kepada segenap komponen bangsa untuk meneriakan secara beersama-sama “Stop Penjarahan Minerba Mentah”dari Bumi Nusantara," pungkasnya.