Ketua umum Forum Ekonom Konstitusi mengatakan bahwa Amerika Serikat (AS) saat ini sedang menghadapi permasalahan internal yang sangat beresiko jika tidak hati-hati, terutama di bidang ekonomi. Pidato pertama Presiden USA Donald Trump pasca dilantiknya pada Hari Jum'at (20/1/2017) Januari 2017 memberikan sinyal bahwa kebijakan ekonomi AS akan lebih protektif.
"Hal mana akan sangat berbeda dengan isu yang selama ini mereka sebarluaskan ke seluruh negara tentang keampuhan sebuah mainstream (arus utama) sistem ekonomi kapitalisme neoliberalisme yang ternyata rapuh," kata Defiyan dalam keterangan tertulis, Senin (23/1/2017).
Defiyan menyebut bahwa kini AS menyadari meskipun negerinya kini mendominasi ekonomi dunia, namuan pengelolaan kehidupan ekonomi yang tak efektif dan efisien serta utang luar negeri yang semakin banyak telah membuat pertahanan mereka rapuh. Ditambah lagi dengan kebijakan politik luar negeri mereka yang sering memiliki standar ganda dengan isu-isu yang mereka mainkan sendiri.
Baca Juga: Donald Trump Dilantik Jadi Presiden AS, Pasar Saham Menguat
Dengan mencermati kebijakan ekonomi protektif yang akan dijalankan oleh AS, sampai kini sikap pemerintah Indonesia, melalui Pidato Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pada Selasa (17/1/2017) dalam acara yang diadakan oleh Bank Dunia tidak memberikan atau belum memberikan garis kebijakan yang jelas. Menurutnya, Indonesia seolah masih terlena dan dininabobokan oleh keteguhannya memegang nilainya sebagai corong sistem kapitalisme neoliberalisme saat pemiliknya sedang melakukan perubahan. Dengan utang luar negeri yang hampir Rp4.500 triliun, Sri Mulyani masih menggunakan parameter pasar bursa sebagai salah satu yang dominan mempengaruhi kebijakan Ekonomi AS melalui kepemimpinan Donald Trump.
Menurutnya, ini sangat mensimplifikasi permasalahan sampai menyatakan gejolaknya akan temporar bagi Indonesia, padahal data dan fakta rasio gini atau kesenjangan di Indonesia per Agustus 2016 adalah sebesar 0,39 persen. Ini adalah rasio gini terburuk yang pernah dihasilkan pasca reformasi dan Orde Baru yang semenjak Tahun 2010-2016 tidak pernah bergeser dari angka 0,38-0,41 dan berdasarkan data BPS Tahun 2013 bahwa pendapatan kelompok masyarakat Indonesia hanya 13 persen saja dari kelompok yang menguasai ekonomi Indonesia. "Dengan fakta ini, lalu Menteri Keuangan menyampaikan fundamental ekonomi Indonesia lebih kuat dibanding AS?," jelas Defiyan.
Ia meminta pemerintah Indonesia sebaiknya segera mengambil langkah-langkah antisipasi atas berbagai kemungkinan terjadinya pelarian dana ke luar negeri (capital outflow) akibat dari kebijakan AS dan negara-negara maju lain yang sedang melakukan langkah-langkah konsolidatif atas perekonomian negara mereka masing-masing. Terlalu mengandalkan kebijakan text book thinking (sesuai buku ajar ekonomi) hanya akan membuat Menteri Keuangan lupa diri atas permasalahan mendasar yang saat ini dihadapi Indonesia akibat kesalahan dalam mengambil kebijakan utang luar negeri yang dulu dilakukan pada posisi sebagai Menteri Keuangan juga pada Tahun 2006.
"Mestinya Menteri Keuangan mencari terobosan lain yang lebih efektif dan efisien dalam rangka menyelamatkan perekonomian nasional dengan bertumpu pada kekuatan sendiri bukan dengan bergantung pada negara lain, apalagi satu negara saja yaitu Cina yang disebut kuat ekonominya (walau juga harus diteliti keabsahan datanya) dan diluar pendekatan moneteris," pungkasnya.