"Karena itu, sekedar mengobral mineral mentah ke luar negeri tanpa memberikan nilai tambah sama saja mengkhianati cita-cita luhur dari pengelolaan sumber daya alam," jelas Yusri.
"Padahal, melalui kegiatan pengolahan dan pemurnian mineral di dalam negeri, akan memberikan efek berganda. Dapat kita bayangkan berapa penambahan tenaga kerja dapat terlibat dalam industri pengolahannya, berapa rumah tangga keluarga yang ditopang sumber kehidupannya dari sini, berapa penambahan penghasilan bagi tenaga kerjanya, berapa banyak industri ikutan yang akan tumbuh, serta berapa banyak pajak yang bisa diraup oleh negara dari berkembangnya rantai perekonomian ini?," tambah Marwan Batubara yang juga dari Koalisi Masyarakat Sipil.
Marwan menegaskan apakah pemerintah masih mau mengorbankan ibu pertiwi demi pendapatan langsung dan sesaat dari ekspor bahan mentah tersebut? atau tidak. Mengacu
Kajian Pusat Data dan Informasi (PUSDATIN), Kementerian ESDM (2012) menunjukkan adanya peningkatan sebesar 10,23 kali lipat jika bauksit diolah menjadi alumina, mengingat harga bauksit di tahun 2011 sebesar 29,00 Dolar Amerika Serikat (AS) per ton, sementara harga alumina mencapai 274,00 Dolar AS per ton. Sedangkan jika alumina diolah menjadi aluminium, maka nilai jualnya akan menjadi 3.822,00 Dolar AS per ton, atau 139,23 kali lipat dibandingkan dengan harga bauksit mentah.
Penelitian Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia (UI) tahun 2016 membuktikan bahwa pembangunan smelter untuk pengolahan dan pemurnian mineral bauksit di Kalimantan Barat dapat meningkatkan kesempatan kerja bagi masyarakat sekitar. Tanpa smelter, 10 orang pekerja pertambangan dapat menciptakan kesempatan kerja bagi sekitar 14 orang di Kalbar. Sedangkan dengan adanya smelter, 10 orang pekerja pertambangan ini dapat menciptakan kesempatan kerja bagi 19 orang di Kalbar.
Baca Juga: Kemenkeu Segera Bikin Regulasi Ekspor Mineral Mentah
"Bagaimana Perundang-Undangan Mengatur Ini? Secara kebijakan, Pasal 102 dan 103 UU Minerba telah menegaskan kewajiban pengolahan dan pemurnian mineral mentah di dalam negeri bagi pemegang IUP/IUPK, sedangkan Pasal 170 UU Minerba juga mewajibkan seluruh pemegang Kontrak Karya (KK) yang sudah berproduksi seperti PT Freeport Indonesia, PT Newmont Nusa Tenggara, dan lain-lain untuk melakukan pemurnian selambat-lambatnya 5 (lima) tahun sejak UU Minerba diundangkan, yakni Tahun 2014," ujar Marwan.
Sejalan dengan kebijakan ini, pemerintah menerapkan kebijakan larangan ekspor mineral mentah (tanpa pengecualian) di tahun 2012 melalui Permen ESDM No. 7/2012. Namun, dari rentetan kebijakan yang selanjutnya dikeluarkan, pemerintah justru terlihat plin plan. Sebut saja Permen ESDM No. 20/2013 yang memberikan tenggat waktu untuk eskpor mineral mentah hingga Januari 2014 dan Permen ESDM No. 1/2014 yang mengizinkan ekspor konsentrat hingga Januari 2017.
Di tahun 2014, APEMINDO dan perusahaan mineral lainnya pernah mengajukan permohonan pengujian pasal 102 dan 103 UU Minerba ke Mahkamah Konstitusi. Namun, putusan MK nomor 10/PUU-XII/2014 menolak permohonan APEMINDO. Menurut MK, dalih mengenai PHK besar-besaran jika larangan ekspor berlaku tidak akan terjadi jika perusahaan tambang sedari awal mempunyai komitmen kuat dalam pengolahan dan pemurnian mineral dengan mendirikan smelter atau bekerjasama dengan perusahaan lain yang mempunyai fasilitas tersebut.
"Ada apa dan mengapa kebijakan kewajiban pengolahan dan pemurnian mineral di dalam negeri tidak dapat diimplementasikan? Begitu lemahkah negara ini sehingga tidak mampu menjalankan kebijakan pengolahan dan permunian hasil tambangnya di dalam negeri yang notabene-nya merupakan kewajiban perusahaan pertambangan?
Apakah Pemerintah tersandera berbagai kepentingan asing yang merongrong kebijakan hilirisasi? Atau jangan-jangan para pengambil kebijakan dan pelaksana kebijakan pun memainkan peran ganda sebagai agen Pemerintah sekaligus agen korporasi yang tidak pro kepentingan nasional Indonesia?," kata Fahmy Radhi dalam kesempatan yang sama.