Gerindra Minta Industri Gula Tak Dipaksa Bangun Kebun Tebu

Adhitya Himawan Suara.Com
Rabu, 18 Januari 2017 | 12:24 WIB
Gerindra Minta Industri Gula Tak Dipaksa Bangun Kebun Tebu
Ilustrasi gula rafinasi. [Shutterstock]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Arief Poyuono, menjelaskan bahwa berdasarkan Pasal 74 UU No. 39/2014 tentang Perkebunan, setiap unit pengolahan hasil perkebunan tertentu yang berbahan baku impor wajib membangun perkebunan tebu dalam waktu paling lambat tiga tahun setelah unit pengolahan beroperasi.

"Kalau dipaksakan oleh pemerintah maka harga gula dijamin bisa mencapai Rp50 ribu perkilo. Apapun UU yang sedang dibuat oleh pemerintah, seharusnya dipikirkan juga keadaan yang sebenarnya ketika UU akan diterapkan nantinya," kata Arief dalam keterangan resmi, Rabu (18/1/2017).

Arief menegaskan, bagaimana mungkin industrin gula rafinasi berbahan baku impor akan membangun perkebunan tebu sedangkan ketersediaan lahan untuk ditanami tebu tidak ada akibat kekacauan penyusunan Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) di DPR. Kondisi ini diperparah masih banyaknya lahan lahan kehutanan yang sudah tidak ada hutannya tetapi berstatus Hutan Lindung. Disisi lain, Kawasan Budidaya Non Kehutanan dan lahan perkebunan tebu yang sudah ada justru makin menyusut terus.

"Ini ditambah dengan tidak adanya peremajaan pabrik-pabrik gula milik BUMN yang masih digunakan sejak jaman Belanda," tambah Arief.

Baca Juga: Cegah Rembesan Gula Rafinasi, Menperin Pantau Pasar Umum

Jadi jika pemerintah memaksakan kewajiban bangun kebun tebu pada Industri Gula Rafinasi berbahan Baku impor leads pelaku usaha Industri Gula Rafinasi berbahan baku impor Berdasarkan Pasal 74 UU No. 39/2014 tentang Perkebunan, setiap unit pengolahan hasil perkebunan tertentu yang berbahan baku impor wajib membangun kebun dalam waktu paling lambat tiga tahun setelah unit pengolahan beroperasi.

"Maka yang terjadi pabrik Industri Gula Rafinasi akan tutup Dan berdampak pada mahalnya harga Gula untuk pembuatan makanan dan minuman hingga akhirnya usaha sektor makanan dan minuman kekurangan pasokan Dan banyak yang gulung tikar berujung PHK dan penambahan pengangguran dimana mana," jelas Arief.

Dampak lainnya akan semakin banyak produk produk makanan dan minuman siap komsumsi impor membanjiri pasar Indonesia,untuk mengantikan produk produk makanan dan minuman buatan Indonesia yang 90 persen masih berbahan baku lokal yang harus bangkrut akibat langkanya Gula Rafinasi dan mahal akibat ditutupnya Industri Gula Rafinasi berbahan baku impor

Karena itu BKPM harus lebih bijak dan tidak perlu mendesak desak untuk menerapkan kewajiban bangun perkebunan tebu bagi Industri Gula Rafinasi. Pemaksaan ini justru akan berdampak negatif pada perekonomian national ,sedangkan Industri Gula Rafinasi juga tidak serta merta mesin pabriknya bisa digunakan untuk mengiling tebu hasil perkebunan tebu

Jadi selain bangun tebu maka diperlukan juga pembangun pabrik pengilingan tebu untuk menghasilkan Gula tetes tebu bagi Industri Gula Rafinasi yang berbahan baku impor tentu saja ini bukan jumlah invertasi yang sedikit .

Enggannya Investor disektor perkebunan masuk ke Indonesia bukan karena tinggi import Gula tapi lebih pada masalah ketersediaan lahan yang ada serta cocok untuk tanam tebu karena tidak semua daerah di Indonesia cocok untuk tanaman tebu dengan hasil yang berkualitas tinggi.

Terkaut, usulan mengunakan lahan milik BUMN untuk perkebunan tebu bagi Industri Gula Rafinasi itu juga tidak semudah membalik tangan. "Karena lahan milik BUMN yang sudah habis masa Hak Guna Usaha (HGU) sudah berpindah menjadi milik pemda atau sudah menjadi lahan untuk tanaman selain tebu. Jadi sangat dilematis ini," pungkas Arief.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI