PWYP Indonesia Desak Pemerintah Batalkan Relaksasi Ekspor Mineral

Adhitya Himawan Suara.Com
Selasa, 17 Januari 2017 | 15:32 WIB
PWYP Indonesia Desak Pemerintah Batalkan Relaksasi Ekspor Mineral
Lokasi pertambangan mineral bauksit di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat [Suara.com/Adhitya Himawan]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Koalisi Masyarakat Sipil Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, mendesak Presiden Joko Widodo dan Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan, untuk membatalkan kebijakan pelonggaran (relaksasi) ekspor pertambangan mineral, baik untuk ekspor bahan mentah (ore material) maupun konsentrat. Presiden Jokowi didesak mencabut kembali Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2017 tentang Perubahan Keempat Atas PP No.23/2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.

"Termasuk juga memerintahkan Menteri ESDM untuk mencabut Peraturan Menteri (Permen) ESDM No.5/2017 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral di Dalam Negeri dan Permen ESDM No.6/2017 tentang Tata Cara Persyaratan Pemberian Rekomendasi Pelaksanaan Penjualan Mineral ke Luar Negeri Hasil Pengolahan dan Pemurnian," kata Koordinator Nasional PWYP Indonesia, Maryati Abdullah, melalui keterangant tertulis, Selasa (17/1/2017).

Ketiga beleid yang diterbitkan pada tanggal 11 Januari 2017 tersebut, memberikan jalan bagi pemerintah untuk memberikan izin ekspor nikel dan bauksit yang belum dimurnikan atau berkadar rendah, yaitu nikel berkadar di bawah 1,7 persen dan bauksit yang telah dilakukan pencucian (keduanya dapat dikategorikan sebagai bahan mentah). Selanjutnya, beleid ini memberi peluang perubahan status perusahaan tambang dari Kontrak Kerja (KK) menjadi Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan IUP Khusus (IUPK), tanpa melalui proses yang telah ditetapkan oleh UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba). Selain itu, beleid ini juga memberikan kelonggaran bagi IUPK untuk melakukan ekspor konsentrat hingga 5 (lima) tahun ke depan.

Baca Juga: Pemerintah Resmi Izinkan Kembali Ekspor Mineral Mentah

“Pemerintah telah terang-terangan mengeluarkan kebijakan yang bertentangan dengan amanat UU Minerba pasal 102 dan 103 yang mewajibkan perusahaan minerba untuk melakukan pengolahan dan pemurnian hasil penambangan di dalam negeri. Sekaligus bertentangan dengan pasal 170 yang mewajibkan seluruh pemegang KK yang sudah berproduksi untuk melakukan pemurnian selambat-lambatnya 5 (lima) tahun sejak UU Minerba diundangkan pada tahun 2009,” ujar Maryati.

Maryati menegaskan bahwa pemerintah juga secara nyata tidak tunduk terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 10/PUU-XII/2014 yang memperkuat kewajiban pengolahan dan pemurnian di dalam negeri dan menyatakan bahwa semangat UU Minerba sejalan dengan Pasal 33 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 karena kewajiban ini secara langsung maupun tidak langsung memberikan manfaat sebesar -besarnya bagi kemakmuran rakyat.

Aryanto Nugroho, Manajer Advokasi PWYP menambahkan bahwa pemberian relaksasi ekspor konsentrat selama 5 (lima) tahun ke depan, menjadikan total 13 (tiga belas) tahun waktu yang diberikan kepada pengusaha tambang untuk membangun industri hilir sejak UU Minerba disahkan. "Rangkaian relaksasi ini melengkapi daftar inkonsistensi pemerintah terkait kebijakan hilirisasi sejak terbitnya Permen ESDM No 20 tahun 2013, Permen ESDM No 1 Tahun 2014, Permen ESDM No 5 tahun 2016 sampai dengan terbitnya Permen ESDM terbaru," ujar Aryanto.

Kendati Pemerintah melakukan pembatasan minimum dari hasil pengolahan dan pemurnian, serta mensyaratkan adanya ketentuan-ketentuan bagi pengurusan izin ekspor misalnya kewajiban pembangunan smelter. Hal tersebut sebenarnya telah dilakukan sebelumnya, hanya saja, fakta sejak 2014 belum ada perkembangan signifikan, karena pemerintah terus menerus melakukan pelonggaran. Dari sekitar 6.541 IUP Mineral, dimana 4.019 diantaranya merupakan IUP Operasi Produksi, hanya 26 smelter yang siap beroperasi.

“Kami menduga, ini adalah upaya ‘cuci tangan’ pemerintah atas kegagalan pemerintah dalam menjalankan amanat UU Minerba khususnya terkait hilirisasi. Selain itu, rangkaian aturan relaksasi tersebut kami ‘duga’ merupakan upaya untuk memberi kemudahan dan keistimewaan bagi sejumlah perusahaan KK dan perusahaan-perusahan tertentu yang memproduksi nikel dan bauksit tanpa diolah dan dimurnikan,” jelas Aryanto.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI