Sekitar 50.000 nyawa bisa diselamatkan setiap tahun hingga 2030 jika tidak ada PLTU batubara baru dibangun di Asia Tenggara, Korea Selatan, Jepang dan Taiwan. Hal itu terungkap dari hasil penelitian dari para peneliti di Universitas Harvard dan Greenpeace Internasional.
Emisi polutan udara dari PLTU batu bara di wilayah tersebut saat ini menyebabkan sekitar 20.000 lebih kematian dini per tahun. Angka itu meningkat menjadi 70.000 pada tahun 2030 jika PLTU batubara yang saat ini direncanakan, atau dalam pembangunan tetap berlanjut.
Mayoritas kematian ini (55.000 pada tahun 2030) akan terjadi di Asia Tenggara. “Sementara polusi udara di China dan India telah menarik banyak perhatian, termasuk dari kalangan akademik, dampak dari ekspansi penggunaan batubara pada PLTU-PLTU yang direncanakan akan dibangun di Asia Tenggara dan kawasan Asia Timur masih belum banyak diteliti,” kata Shannon Koplitz, peneliti utama dalam proyek dari Harvard University, dalam siaran pers, Jumat (13/1/2017).
Baca Juga: Kompetensi Konsultan PLN Diragukan Bila Tender PLTU Jawa 1 Gagal
Koplitz mengatakan, ketergantungan pada batubara di negara-negara berkembang seperti Asia Tenggara akan memiliki dampak yang cukup besar dan tahan lama terhadap kualitas udara dan kesehatan masyarakat. “Kami memperkirakan bahwa puluhan ribu kematian dini dapat dihindari melalui pilihan energi yang lebih bersih. Biaya kesehatan manusia ini harus dipertimbangkan secara serius ketika membuat pilihan tentang masa depan energi di Asia Tenggara,” tambahnya.
Penulis dari kelompok pemodelan Sains Atmosfer Universitas Harvard , Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Harvard dan Greenpeace memetakan emisi saat ini dari semua PLTU batu bara di wilayah tersebut. Tim ini menggunakan model atmosfer canggih untuk menilai seberapa banyak tingkat polusi udara saat ini karena emisi batubara di lokasi yang berbeda di seluruh Asia.
Laporan ini merupakan bagian dari serangkaian penelitian Universitas Harvard untuk melihat tingkat morbiditas dan mortalitas yang terkait dengan PLTU batu bara di Asia. Laporan ini merupakan lanjutan dari laporan studi sebelumnya oleh Universitas Harvard dan Greenpeace Asia Tenggara yang berjudul “Kita, Batubara, dan Polusi Udara”.
Dalam laporan terdahulu Harvard dan Greenpeace memperkirakan akan terjadi 28.300 kematian dini setiap tahunnya dan menekankan perlunya peralihan segera menuju energi terbarukan di Indonesia. Sebuah laporan serupa menunjukkan bahwa PLTU batubara di Vietnam menyebabkan sekitar 4.300 kematian dini per tahun sedangkan penelitian yang difokuskan di Thailand menunjukkan PLTU batubara menyebabkan sekitar 1.550 kematian dini per tahun.
Jika proyek PLTU batubara yang diusulkan tetap berlanjut, maka emisi dari batubara di Asia Tenggara, Korea Selatan dan Jepang akan meningkat tiga kali lipat pada tahun 2030. Angka ini bisa melebihi emisi batubara total di AS dan Eropa, dengan konsentrasi peningkatan terbesar di Indonesia dan Vietnam.
PLTU batu bara bisa bertanggung jawab untuk 70.000 kematian dini di wilayah ini setiap tahun, menyaingi 100.000 kematian dini akibat kabut asap di Indonesia pada tahun 2015. Indonesia akan menderita jumlah tertinggi kematian dini, diikuti oleh Vietnam, disusul Myanmar yang akan mengalami kematian dini tertinggi keempat di tahun 2030.
Koordinator Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Asia Tenggara Arif Fiyanto mengatakan, ekspansi batubara yang direncanakan di Asia Tenggara memerlukan perhatian khusus karena standar emisi yang sangat lemah di negara-negara ini untuk pembangkit listrik. “Semua negara di wilayah ini memungkinkan polusi berkali-kali lipat dari PLTU batubara baru di Cina dan India,” kata Arief.
Dia menegaskan, negara-negara di Asia Tenggara memiliki kesempatan sekarang untuk meninggalkan teknologi usang seperti batubara dan pindah ke energi terbarukan. Vietnam sudah mengambil langkah pertama dengan membatalkan 17 PLTU batu bara yang besar, mengurangi dampak kesehatan hingga lebih dari seperempat dari dampak semula akibat rencana ekspansi batubara negara tersebut.
“Pemerintah di setiap negara memiliki kesempatan untuk segera menggeser kebijakan energi mereka dan menyelamatkan puluhan ribu nyawa warga mereka,” ujar Arief.
Asia Tenggara merupakan salah satu daerah yang paling cepat berkembang di dunia. Kebutuhan listrik di 2035 diproyeksikan meningkat 83% dari tahun 2011, lebih dari dua kali rata-rata global. Banyak negara di wilayah ini masih mengejar PLTU batubara baru, sehingga tertinggal dari China dan India yang justru meningkatkan energi terbarukan.
Di antara negara-negara maju, hanya Jepang dan Korea Selatan yang terus menonjol sebagai satu-satunya negara untuk mengejar pembangunan PLTU batubara baru. Ini sangat bertolak belakang dengan komitmen iklim dan kekhawatiran mereka tentang kesehatan masyarakat.
China, emitor karbon terbesar di dunia, terlihat melakukan penurunan secara keseluruhan konsumsi batubara dan emisi polutan sejak 2013. Tren ini akan terus berlanjut, meskipun terjadi lonjakan tingkat polusi udara yang terjadi baru-baru ini.
Beberapa pengurangan polusi udara Cina bisa akan diimbangi dengan kenaikan di Asia Tenggara, sepertinya daratan China akan terpapar polusi dan menyebabkan sekitar 9.000 kematian dini pada tahun 2030, karena polusi yang disebabkan oleh kenaikan emisi batubara dari negara-negara tetangga.