Nicotine replacement therapy (NRT) atau terapi pengganti nikotin, tersedia dalam beberapa bentuk mulai dari nikotin transdermal yang memanfaatkan jaringan kulit, permen karet, tablet hisap, tablet sublingual, inhaler, dan alat semprot. NRT bertujuan menggantikan nikotin yang sebelumnya diperoleh dari rokok. NRT bekerja dengan mengurangi gejala putus nikotin, mengurangi efek nikotin, dan memberikan efek yang sebelumnya didapatkan dari rokok. Menanggapi maraknya produk NRT, Wakil Ketua Badan Legislasi DPR RI, Firman Soebagyo menilai produk-produk NRT yang dilakukan kelompok anti tembakau merupakan salah satu agenda anti-tembakau sebagaimana tertuang dalam Framework Convention on Tobacco Control (FCTC).
“Strategi mengurangi konsumsi tembakau dan diganti dengan NRT produk Amerika Serikat itu persis seperti ditetapkan dalam Pasal 6 FCTC,” kata Firman di Gedung DPR Senayan, Jakarta Jumat (13/1/2017).
Dalam Pasal 6 FCTC, dinyatakan bahwa menaikan harga dan cukai pasti berdampak terhadap kurangnya permintaan tembakau hingga harga rokok jadi mahal dan orang tidak lagi mudah membeli rokok. Keadaan ini memaksa orang berhenti merokok. Dengan berhenti merokok, orang akan merasa menjadi sehat.
Menurut Politisi senior Golkar ini, gerakan kampanye anti-tembakau itu harus disikapi secara skeptis. Walaupun gerakan kampanye itu selalu mengatasnamakan isu kesehatan masyarakat yang terkesan filantropis, jelas sekali tidak bisa menutupi dengan sempurna adanya agenda dan kepentingan lain dibaliknya. Orang-orang, lanjut Firman, bisa menduga ada kepentingan korporasi industri farmasi multinasional saja yang langsung atau tidak langsung akan mengambil keuntungan dari kampanye anti-tembakau, misalnya dengan menjual produk NRT dan bisnis klinik jasa berhenti merokok.
Baca Juga: APTI Kritik NRT Menghancurkan Industri Rokok Kretek Nasional
“Atau bisa jadi ada kepentingan korporasi industri rokok multinasional yang terus berekspansi untuk mengambil keuntungan di tengah gencarnya serangan terhadap industri kretek nasional,” ujar Firman.
Firman mengungkapkan ratifikasi FCTC adalah amunisi perang global anti-tembakau untuk menggoyang pemain lain di seluruh dunia yang tidak memiliki kesiapan menghadapi tekanan kebijakan dan tren dominasi global. Tujuannya, untuk menjatuhkan kekuatan industri domestik akibat tekanan kebijakan yang didorong oleh FCTC.
Lewat tekanan ini, lanjut Firman, diharapkan terjadi penurunan tingkat kompetisi, dan membuka peluang pasar baru. Apabila dilihat lebih mendalam, momentum dari kampanye global anti-tembakau yang gencar dilakukan dimaksudkan untuk membuka peluang baru bagi gerakan konsolidasi global terhadap industri tembakau di seluruh dunia. Tujuannya menciptakan kendali potensi keuntungan triliunan dolar dari industri tembakau global yang diwakili kekuatan tertentu.
“Tinggal kita pilih. Apakah kita mau utamakan kepentingan nasional di bidang tembakau, khususnya kretek yang merupakan rokok khas Indonesia, atau kepentingan korporasi-korporasi farmasi internasional yang sejak awal mendanai proyek anti tembakaunya itu. Kedaulatan sebagai bangsa ada di tangan kita,” pungkas Firman.
Diketahui, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) awal 2015 sudah melakukan kajian tentang bahaya rokok elektrik baik dari dalam dan luar negeri. Hasil kajian yang sudah diserahkan ke Kementerian Kesehatan itu menyatakan bahwa rokok elektrik merugikan kesehatan masyarakat. Karena itu pemerintah melarang penggunaan rokok elektrik.