Hal ini juga akan membantu negara untuk mendapat pemasukan devisa. Saat ini harga bauksit global sebesar 30 Dolar Amerika Serikat (AS) per ton. Jika setiap tahun diperkenankan dieskpor sebanyak 40 juta ton per tahun maka negara akan mendapat tambahan devisa senilai 1,2 miliar Dolar Amerika Serikat (AS). Bandingkan jika hanya dikenakan bea keluar (ekspor) senilai 5 Dolar AS per ton, negara hanya mendapat 200 juta Dolar AS per tahun.
Bagaimana dengan keamanan pasokan bahan baku untuk smelter bauksit? Data Kementrian ESDM menyebutkan bahwa sumberdaya bausit Indonesia yang mencapai 7,5 miliar ton dan cadangan sebesar 3,2 miliar ton. Jika diasumsikan setiap tahun ekspornya sebesar 40 juta ton maka selama lima tahun sebesar 200 juta ton. Maka cadangan bauksit nasional untuk Industri Alumina dengan kebutuhan dalam negeri 6 juta ton per tahun masih bisa bertahan 503 tahun.
Oleh karenanya kecemasan akan kemanan pasokan bahan baku untuk industri smelter dalam negeri khusus untuk bauksit mengada-ada.
APB3I juga melihat, dampak dari kebijakan larangan ekspor sejak 12 januari 2014 sangat dirasakan daerah penghasil bauksit seperti Kalimantan Barat. Negara selama ini telah kehilangan potensi devisa sebesar Rp. 18,9 triliun/tahun dan pajak dan PNBP sebesar Rp. 6.3 triliun/tahun. Kemudian Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kalimantan Barat yang merupakan tempat deposit bauksit terbesar di Indonesia juga pada tahun 2014 menjadi 5,02%, dari sebelumnya 6,04% di tahun 2013.
Baca Juga: Jonan: Hilirisasi Mineral Harus Jalankan Enam Arahan Presiden
Sementara Direktur Centre for Indonesian Resources Strategic Studies (Cirus) Budi Santoso menilai RPP yang dibuat Kementrian ESDM terkesan tergesa-gesa dan hanya untuk memenuhi kepentingan salah satu pihak saja.
“Pemerintah sebaikanya melihat perubahan PP tidak sesederhana point-point tersebut. Slasan lima tahun sebaiknya diuraikan dalam kajian. Sebaiknya Pemerintah melihat fundamental permsalahan kenapa hilirisasi tidak berjalan dan bagaimana affirmative action yang konprehensif bukan hanya tambal sulam,”tandasnya.
Menurutnya Pemerintah harus memperlakukan sama untuk semua komoditi dan juga pelaku usaha. Jangan ada perbedaan perlakuan antara perusahaan pemegang Kontrak Karya dengan Perusahaan Pemegang IUP.
Ketika ditanya tentang apakah komoditi lain seperti nikel dan tembaga pelu diberi kelonggaran ekspor, Budi menilai Pemerintah perlu melakukan itu dengan beberapa pertimbangan. “Saya kira Pemerintah harus memberlakukan ke komoditi yang lain (nikel dan bauksit) dengan syarat terbatas dan hanya sebagai emergency exit” katanya.
Budi kemudian menyebut ketiga syarat tersebut adalah ekspor hanya untuk mem back-up kondisi finansial perusahaan, diberikan hanya pada perusahaan yang sudah dan sedang membangun smelter dan tentu saja memiliki cadangan yang cukup. “Jangan sampai pembatasan mineral seolah-olah hanya untuk pihak tertentu “kata Budi mengingatkan.
Ketua Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia Suwandi Wiratno berharap agar regulasi yang diterbitkan ramah pada investasi. “Kami mendukung agar dilakukan kegiatan peningkatan nilai tambah agar tidak ada mineral lain yang juga terkirim. Namun kalau dilihat perkembangan selama ini pembangunan smelter juga masih mengalami masalah,”kata Suwandi.