SP PLN Tolak Klausul Take or Pay yang Dianggap Rugikan PLN

Adhitya Himawan Suara.Com
Minggu, 08 Januari 2017 | 12:01 WIB
SP PLN Tolak Klausul Take or Pay yang Dianggap Rugikan PLN
Kantor Pusat PLN di kawasan Blok M, Jakarta Selatan, Selasa (7/6/2016). [Suara.com/Adhitya Himawan]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Serikat Pekerja (SP) PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) menolak klausul kebijakan wajib membeli listrik atau take or pay kepada listrik milik Independent Power Producer (IPP). Pasalnya kebijakan ini sangat merugikan PLN dan mengakibatkan harga listrik yang diterima masyarakat akan menjadi semakin mahal.

SP PLN kembali mengingatkan klausul take or pay yang merugikan PLN sehingga menyebabkan harga listrik Indonesia menjadi lebih mahal. Hal itu disampai pada wartawan di kawasan Menteng Jakarta ketika bersilahturahmi dengan wartawan media nasional beberapa waktu lalu.

"Kita mendesak Pemerintah dan Direksi PLN agar segera mengevaluasi klausul ini di PPA antara PLN dengan Listrik Swasta. Apalagi harga listrik di Indonesia saat ini cukup mahal dibandingkan negara lain". "Presiden pun mengeluh dengan harga listrik Indonesia yang mahal ini. Yang ditenggarai oleh Presiden sebagai perbuatan calo", ungkap Ketua Umum SP PLN Jumadis Abda, dalam keterangan resmi, Minggu (8/1/2017).

Soalnya, kata Ketua Umum Serikat Pekerja PLN, setiap komponen biaya listrik dibebankan kepada harga jual listrik ke masyarakat. Selain itu dikhawatirkan terjadinya pemadaman listrik karena dominasi swasta seperti yang terjadi di Nias.

Salah satu kerugian PLN akibat adanya listrik swasta itu adalah PLTU Bukit Asam (4x65 MW), Sumsel, yang sejak 29 November 2016 lalu harus dimatikan (shut down) dan diturun bebannya. Akibatnya PLN mengalami kerugian miliaran rupiah.

"Untuk mencegah kerugian yang semakin besar, kami meminta direksi PLN untuk menghilangkan atau membatalkan klausul take or pay dalam setiap perjanjian jual beli listrik dengan pihak swasta. Hanya pembangkit yang lebih andal dan murahlah yang terlebih dahulu mendapat prioritas untuk dioperasikan dan masuk sistem sesuai dengan merit order yang optimal", kata Jumadis.

Menurutnya, sejak IPP China Sumsel 5 mulai beroperasi pada 29 November 2016 yang lalu, terjadi kelebihan pasokan pembangkit pada sistem Sumsel. Akibatnya PLTU Bukit Asam yang lebih murah biaya operasinya harus di stop (shutdown) dan sebagian diturunkan bebannya.

Masuknya pembangkit swasta melalui Power Purchase Agreement (PPA), menurut SP PLN, kalau mau berpartisipasi maksimal hanya 20% dari total pembangkit yang dioperasikan sehingga keandalan dan efisiensi sistem kelistrikan dapat optimal.

Bahkan sesuai dengan amanat UUD 1945 pasal 33 ayat 2, kelistrikan termasuk cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak harus tetap dikuasai oleh negara mulai dari hulu di pembangkit sampai sisi hilir di distribusinya. Sehingga tidak boleh sektor kelistrikan seperti pembangkit diserahkan kepada swasta.

Jumadis memperkirakan, kasus di Sumsel bisa saja terjadi di sistem Jawa-Bali. Sebab dalam RUPTL 2015-2019, akan ada tambahan pembangkit sekitar 19.000 MW dan 14.000 MW itu dibangun dan dipasok oleh pembangkit milik swasta. "Potensi itu termasuk juga bisa terjadi di Jawa-Bali. Pembangkit PLN pada akhirnya digantikan pembangkit swasta," imbuh dia.

Baca Juga: PLN Tak Boleh Batalkan Pemenang Tender PLTGU Jawa I

SP PLN juga menuntut gas alam diturunkan harganya untuk domestik termasuk untuk pembangkit PLN sehingga harga listrik bisa lebih murah. "Kami juga menuntut agar Pemerintah menghentikan ekspor gas alam sehingga kebutuhan dalam negeri terpenuhi,” kata Jumadis.

Terkait pernyataan Presiden Jokowi harga listrik mahal karena ada calo, SP PLN berpendapat. Pertama, bahwa bagian terbesar yang mempengaruhi tarif listrik adalah harga energi primer. Karena sekitar 60% dari biaya operasi PLN adalah di bahan bakar. Sehingga apabila harga energi primer yang dibeli PLN lebih mahal maka tarif listrikpun dijual mahal juga. Misalnya harga gas alam yang dijual ke PLN ternyata rata-rata 2x lipat lebih mahal dibandingkan yang diekspor. Yang kedua adalah terkait pengoperasian sistem kelistrikan yang tidak efisien setelah adanya IPP dengan klausul take or pay - nya itu. PLN harus mengoperasikan pembangkit yang mahal dan menyetop pembangkit yang murah.

Sinyalemen terkait calo atau terjadinya kolusi yang menyebabkan tarif listrik lebih mahal seperti yang dikemukakan Presiden Jokowi di Minahasa saat peresmian PLTP Lahendong unit 5 dan 6 (27/12). Jumadis tidak menampik hal seperti itu dapat saja terjadi. Hal ini sangat mungkin dalam proses pengadaan bahan bakar yang dibeli PLN yang kenyataannya jauh lebih mahal maupun dalam proses pengadaan pembangkit IPP itu ataupun pada penyerahan pekerjaan core bisnis PLN kepada perusahaan lain yang pada akhirnya menimbulkan biaya tambahan (high cost) bagi PLN, tegas Jumadis.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI