Tahun 2017 ini merupakan tahun di mana pemerintah berupaya keras melakukan pemerataan. Dari sekian banyak sektor, sektor energi merupakan salah satu hal yang benar-benar menjadi perhatian serius pemerintah. Upaya pemerataan di sektor energi merupakan perwujudan dari keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Demikian disampaikan Presiden Joko Widodo saat memimpin sidang paripurna keempat Dewan Energi Nasional (DEN) di Kantor Presiden, Jakarta, pada Kamis (5/1/2017).
"Kita tidak boleh membiarkan rakyat kita di Papua, di daerah perbatasan, serta di pulau-pulau terpencil dan terdepan mengalami ketidakadilan karena harus membeli BBM (bahan bakar minyak) dengan harga yang berlipat-lipat dibandingkan Jawa dan Sumatera. Kita juga tidak boleh membiarkan rakyat kita di pelosok Nusantara tidak memperoleh penerangan listrik di malam hari," tegas Presiden.
Dalam arahannya tersebut, Presiden juga sekali lagi mengingatkan arah pengembangan sektor energi nasional sebagaimana yang telah disampaikan pada sidang paripurna Dewan Energi Nasional sebelumnya yang digelar pada 22 Juni 2016 silam. Presiden memandang diperlukan adanya terobosan-terobosan baru untuk mengatasi ketergantungan impor bahan bakar dan juga dalam pengembangan energi bersih dan terbarukan.
"Saya kira ke depan sangat berbahaya sekali apabila kondisi ini masih kita pakai terus menerus tanpa melakukan riset dan terobosan-terobosan dalam membangun ketahanan energi kita. Utamanya karena kita sekarang memiliki produksi CPO, biomassa, dan batu bara yang tidak kecil. Ini kalau betul-betul dilakukan riset besar-besaran akan dapat melahirkan terobosan sehingga kita tidak bergantung terus kepada BBM. Saya kira seperti ide penemuan cell gas di Amerika, kira-kira seperti itu yang kita inginkan," ujarnya.
Baca Juga: Presiden Jokowi Minta Petani Dikorporasikan
Sebab, Kepala Negara yang saat itu bertindak sebagai Ketua DEN berpendapat bahwa saat ini Indonesia masih belum memberi perhatiannya kepada rencana jangka panjang terkait dengan ketahanan energi nasional. Padahal, Indonesia memiliki potensi untuk dapat terhindar dari ketergantungan impor bahan bakar minyak.
"Hutan kelapa sawit kita yang mencapai 13-14 juta hektare saya kira memberikan sebuah peluang kepada kita untuk tidak bergantung dengan negara yang lain. Kalkulasi jangka panjang yang seperti itu harus benar-benar kita hitung sehingga ketakutan kita akan kekurangan BBM dan energi betul-betul sudah terdesain sejak awal. Ini yang sampai sekarang menurut saya belum kita seriusi dengan baik," terang Presiden.
Selain itu, Presiden Joko Widodo juga menyinggung soal target pembangunan listrik 35 ribu megawatt. Di hadapan jajarannya, mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut menegaskan bahwa angka tersebut bukanlah semata sebagai target yang harus dicapai, tetapi sudah menjadi kebutuhan Indonesia.
"Kita harus lihat, ini bukan lagi semata-mata target, tetapi sebuah kebutuhan. Tetapi hitungan-hitungan sebelumnya memang ini ada kalkulasi yang dalam praktik di lapangan memang berbeda sehingga saya kira juga perlu dikalkulasi lagi," imbuhnya.
Mengakhiri pengantarnya, Presiden berpesan bahwa di masa datang, seiring dengan pembangunan yang terus digalakkan merata di pelosok Nusantara, kebutuhan akan pasokan listrik akan semakin meningkat. Oleh karenanya, Presiden berharap kepada Dewan Energi Nasional untuk dapat memberikan solusi terhadap permasalahan tersebut.
Saat ini, memang konsumsi listrik per kapita Indonesia masih rendah dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya, yaitu hanya 917 kWh di tahun 2015, sementara Vietnam sudah sebesar 1.795 kWh, bahkan Singapura sebesar 9.146 kWh.