Ekonom Konstitusi, Defiyan Cori, mengatakan sangat sulit menampik bahwa sistem ekonomi yang dibangun suatu negara bisa berdiri sendiri atau terpisah dari sistem dan kebijakan politik suatu negara. Penjajahan dan kolonialisme yang telah terjadi berabad-abad lalu menjadi bukti tak terbantahkan mendominasinya pelaku ekonomi yang kuat terhadap yang lemah.
Atas dasar pengalaman itu pulalah, maka para pendiri bangsa Negara Kesatuan Republik Indonesia merumuskan dasar negara Pancasila dan konstitusi UUD 1945 (baca hasil Dekrit 1959) sebagai thesis sebuah ideologi dan sekaligus antithesis dari sistem kapitalisme dan komunisme yang saat itu menjadi arus utama di Eropa Barat dan Timur.
"Dalam konteks ini pulalah pasal 33 UUD 1945 menjadi sebuah kerangka hukum dalam menyusun sistem ekonomi nasional, dan segala sesuatu yang tidak merujuk pada konstitusi jelas merupakan pelanggaran dan atau penyimpangan, disebut sebagai inkonstitusional. Perintah pasal ekonomi pada ayat 1 menyebutkan: "Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan". Jadi, kerangka umum sistem ekonomi nasional kita adalah Usaha Bersama dan azas kekeluargaan," kata Defiyan dalam keterangan resmi, Rabu (21/12/2016).
Baca Juga: Pembentukan Holding BUMN Diprediksi Mundur, Ini Kata Rini
Di dalam ayat 2 pada pasal 33 memerintahkan, bahwa: Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara". Apa yang dimaksud dengan cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara? Sudahkah pernah diperjelas dalam sebuah Undang-Undang pengertian dari cabang produksi yang penting sehingga menjadi rujukan bersama (common denominator) bagi penyelenggara negara? Hajat hidup orang banyak menjadi keterangan pelengkap dalam konteks cabang-cabang yang harus dikuasai oleh Negara ini. "Pengertian dikuasai ini tentu saja harus mempunyai pijakan atau landasan hukum yang jelas, supaya tafsir atas penguasaan oleh negara tidak dimaknai secara sewenang-wenang," ujar Defiyan.
Berdasarkan atas perintah yang imperatif konstitusi ini, maka dapat dilihat bagaimana posisi strategis BUMN saat ini yang telah dijual sebagian pada pemegang saham pribadi atau organisasi di pasar bursa. Jika memang BUMN-BUMN yang sudah tidak 100 persen dikuasai oleh negara ini memang tidak menguasai hajat hidup orang banyak, supaya beban APBN menjadi ringan, maka sebaiknya dilepas saja seratus persen kepada swasta sehingga pemerintah dapat memungut pajak lebih optimal. "Atau jika BUMN-BUMN itu sebagiannya masih menguasai sebagian porsi hajat hidup orang banyak alangkah eloknya pemerintah membuat rancangan strategi dan tahapan kebijakan penyerahan pengelolaannya pada Koperasi," jelas Defiyan.
Badan Usaha Milik Negara memiliki peran penting dalam memberikan sumbangan pada kegiatan perekonomian bangsa. Terkait dengan itu pula, dalam UU Nomor 17 tentang Keuangan Negara pasal 2 huruf (g) disebutkan adanya pemisahan kekayaan negara dari perusahaan milik negara/daerah. Hal ini tentu sangat fatal, dengan harta (asset) yang dimiliki oleh BUMN Rp5.395 triliun per Januari 2016 , maka peluang untuk melepas kembali BUMN ke pasar bursa demi kepentingan jangka pendek menjadi terbuka walau sekalipun butuh persetujuan DPR.
Defiyan menegaskan bahwa perlu disadari bahwa harta yang saat ini ada pada BUMN dan yang telah dilepas sebagian sahamnya pada pihak lain pada awalnya adalah harta atau modal yang berasal dari negara. Melepasnya sebagian atau seluruh kepemilikannya pada pihak lain bahkan pada asing adalah tindakan inkonstitusional atau makar karena merugikan negara. "Jadi, makar tidak hanya dipakai sebagai tindakan kejahatan politik pada pemerintahan yang sah saja, tapi sejatinya tindakan kejahatan ekonomi yang inkonstitusional juga telah makar atas negara dengan menyalahgunakan kekuasaan yang diamanahkan dan membuat bangsa dijajah secara ekonomi dan politik," tutup Defiyan.