Kebijakan Impor Pangan Merusak Pertanian Indonesia

Adhitya Himawan Suara.Com
Selasa, 20 Desember 2016 | 06:31 WIB
Kebijakan Impor Pangan Merusak Pertanian Indonesia
Acara peresmian Perkumpulan Patriot Pangan di Yogyakarta, Senin (19/12/2016). [Dok Panitia]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Presiden Patriot Pangan dari Perkumpulan Patriot Pangan, Ir. Bugiakso, menyatakan kebijakan impor pangan yang diterapkan oleh pemerintah selama ini menjadi penyebab rusaknya kaum tani dan pertanian Indonesia.

Dia mengatakan bahwa kebijakan impor pangan ini sesungguhnya hanya menguntungkan para pelaku importir saja.

"Tetapi tidak bagi kaum petani Indonesia, yakni kelompok terbesar rakyat yang ada di negeri ini," ujarnya dalam acara peresmian Perkumpulan Patriot Pangan di Yogyakarta, Senin (19/12/2016).

Pengalaman terintegrasi dalam jaringan perdagangan dunia, dalam bentuk penjajahan di masa lalu, atau era perdagangan bebas sekarang, kata Bugiakso, sesungguhnya hal yang sangat menyesakkan dada.

Baca Juga: 70 Tahun Merdeka, Indonesia Tak Punya Kedaulatan Pangan

Bugiakso mengatakan kebijakan impor segala bahan pangan itu memang benar bisa menjamin ketersediaan. Namun nyatanya, kata dia, yang terjadi justru menjauhkan negeri agraris ini dari kedaulatan pangan.

"Atas nama efisiensi, Indonesia kemudian terjebak, lalu hancur, dan belum sanggup lagi keluar dari jebakan perdagangan dan politik pangan dunia," ujarnya.

Sekilas, kata dia lagi, dengan perhitungan bahwa impor pangan lebih murah dari biaya produksi sendiri, terlihat seperti akan sangat menguntungkan.

"Benar memang menguntungkan, tapi hanya menguntungkan para eksportir," katanya berkelakar.

Bugiakso menilai awal mula kehancuran kaum tani dan pertanian Indonesia ketika terjadinya perubahan konsep menanam menjadi membeli. Lalu munculnya fakta, kata dia, dari bercocok tanam menjadi kuli yang akhirnya menjadi petani di Indonesia sama artinya menjadi miskin.

Dengan fakta yang ada tersebut, ia melihat banyak anak petani yang tidak mau lagi memendam cita-cita menjadi petani. Lalu muncullah logika berpikir bahwa cara untuk tidak terus terjerumus dalam kemiskinan adalah berhenti menjadi petani.

"Adakah yang lebih pilu dari mendapati kenyataan seperti ini? Adakah yang lebih ironis dari kenyataan negeri agraris ini?" katanya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI