Suara.com - Presiden Joko Widodo menilai pegerakan nilai mata uang dolar Amerika Serikat sudah tidak lagi relevan menjadi tolar ukur perekonomian di Indonesia di masa yang akan datang. Tolak ukur yang tepat untuk mencerminkan perekonomian di Indonesia lebih baik dibandingkan dengan mata uang mitra dagang Indonesia.
Jokowi menjelaskan, jika Indonesia selalu menjadikan mata uang dolar AS menjadi tolak ukur dengan perekonomian di Indonesia, mata uang Garuda akan selalu terlihat sangat jelek karena dolar yang terlampau menguat. Padahal, kondisi di dalam negeri Indonesia sendiri masih terbilang stabil.
"Kalau ukur ekonomi Indonesia pakai dolar, nantinya ya kita akan kelihatan jelek. Padahal negara lain juga alami hal sama. Ekonomi kita oke-oke saja. Tapi ini sekali lagi, persepsi," kata Jokowi saat memberikan sambutan dalam acara saresehan 100 ekonom di Hotel Fairmont, Senayan, Jakarta Selatan, Selasa (6/12/2016).
Jokowi menilai, mengukur ekonomi Indonesia semestinya dengan mitra dagang terbesar Indonesia. Amerika Serikat sendiri bukan menjadi bagian mitra dagang Indonesia. Sehingga tidak tepat jika dibandingkan dengan pergerakan dolar AS. Porsinya hanya 10 persen sampai 11 persen dari total ekspor Indonesia.
Baca Juga: Harga Minyak Naik Didorong Kesepakatan OPEC dan Pelemahan Dolar
"Jadi jangan sampai angka 10-11 persen ini menjadi mendominasi persepsi ekonomi karena dolar dan rupiah tadi. Kalau kita masih bawa itu bisa berbahaya," tutur dia.
Jokowi menyebutkan, mitra dagang terbesar Indonesia saat ini adalah Cina dengan porsi sekitar 15,5 persen. Posisi kedua diisi oleh Eropa 11,4 persen dan Jepang 10,7 persen.
"Menurut saya kurs rupiah dan dolar bukan lagi tolak ukur yang tepat. Kan harusnya kurs yang relevan adalah kurs rupiah melawan mitra dagang terbesa kita," katanya.