Jakarta Setiabudi Prediksi Pendapatan Naik 50 Persen

Adhitya Himawan Suara.Com
Kamis, 01 Desember 2016 | 11:10 WIB
Jakarta Setiabudi Prediksi Pendapatan Naik 50 Persen
PT Jakarta Setiabudi International Tbk. [jsi.co.id]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

PT Jakarta Setiabudi International Tbk (JSPT) memproyeksi peningkatan pendapatan hotel sebesar 50 persen pada 2018-2019. Prediksi ini muncul setelah ada tambahan dua aset baru yang akan beroperasi.

"Saat ini perseroan tengah merenovasi Hyatt Regency Bali. Aset ini akan dirombak dengan kapasitas kamar mencapai 375," kata Direktur PT Investa Saran Mandiri, Hans Kwee, dalam keterangan resmi, Kamis (1/12/2016).

Berdampingan dengan Hyatt Regency Bali, JSPT itu juga tengah membangun hotel butik bintang lima dengan kapasitas 145 kamar. Hotel itu dibangun di atas lahan seluas 6,2 hektare dan akan dijadwalkan beroperasi pada awal 2019. Menurutnya, dua proyek di Bali itu akan menjadi kontributor signifikan bagi pendapatan perseroan.

Ini akan menambah sekitar 50 persen terhadap total revenue dari divisi hotel. "Per tahun rata-rata JSPT meraup Rp850 miliar dari bisnis hotel. Per September 2016, pendapatan perseroan dari hotel mencapai Rp565,55 miliar atau 72,51 persen dari total pendapatan," tutup Hans.

Baca Juga: OPEC Batasi Produksi Minyak, Saham Eropa Menguat

Pertumbuhan Kalbe Farma Berpotensi Mencapai Dua Digit

PT Kalbe Farma Tbk (KLBF) berpotensi tumbuh dua digit pada tahun ini dan tahun depan. Proyeksi tersebut akan didukung kemampuan KLBF menggenjot segmen usaha consumer health dan nutrisi. KLBF dan perusahaan farmasi asal Australia, Blackmores, sepakat mengeluarkan produk kesehatan meliputi min-yak ikan dan vitamin yang mengandung omega. Sebelumnya KLBF juga menggandeng Genexine Inc asal Korea. Dalam waktu dekat, Kalbe akan kembali mendirikan joint venture bersama perusahaan farmasi di negara Asia Tenggara.

Pilihan KLBF bisa jadi jatuh pada perusahaan asal Myanmar. Bisnis consumer health dan nutrition cenderung lebih sensitif atau lebih dipengaruhi siklus ekonomi. "Adapun bisnis farmasi yang marginnya menurun di periode itu lebih disebabkan berubahnya bauran produk, seiring program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), yang akhirnya menaikkan kontribusi obat generik bermerek," tutup Hans.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI