Sebelum remunerasi diterapkan menjadi kebijakan penggajian yang layak bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS), maka sebagai Menteri saat itu Sri Mulyani lah yang meyakinkan publik dan menjamin bahwa ke depan tidak akan terjadi lagi korupsi. Sri Mulyani lah yang saat itu menjadi Menteri Keuangan yang sangat getol mengajukan kebijakan remunerasi PNS kepada Panitia Anggaran (Panggar) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) periode 2004-2009 dengan mengajukan berbagai alasan dan pertimbangannya.
"Isu utamanya saat itu yang dikemukakan Sri Mulyani adalah reformasi birokrasi tetkait rendahnya kinerja birokrasi adalah karena rendahnya gaji dan adanya ketimpangan gaji pejabat struktural yang diterima PNS," kata Defiyan Cori, mantan staf non struktural bidang ekonomi Bappenas dan Ekonom Konstitusi dalam keterangan tertulis, Senin (28/11/2016).
Usul ini sebenarnya sudah diolah pada saat Sri Mulyani menjadi Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas pada Kabinet Indonesia I periode 2004-2009 (sebelum akhirnya pindah posisi menjadi Menteri Keuangan pada akhir Tahun 2005) dan menjadi polemik di internal Bappenas. Menurut Defiyan, saat itu banyak yang tidak sepakat dengan kebijakan ini dengan berbagai alasan, diantaranya menolak hipotesa Sri Mulyani itu karena remunerasi tidak berkaitan dengan reformasi birokrasi apalagi kinerjanya sebab itu bukan permasalahan utama. "Masalah utamanya adalah moral dan mentalitas birokrasi," ujar Defiyan.
Terlebih Sri Mulyani mengajukan yang pertama memperoleh kebijakan remunerasi adalah para PNS di lingkungan Kementerian Keuangan. Sebagaimana senior dan pendahulunya mantan Menteri Keuangan Ali Wardhana di era pemerintahan Presiden almarhum Soeharto pada tahun 1971 juga menerapkan kebijakan remunerasi sampai 9 kali lipat gaji saat itu dengan alasan yang sama. Melalui Keppres No. 15 Tahun 1971 diatur soal bagaimana membuat tunjangan khusus bagi pegawai Departemen Keuangan Republik Indonesia. Fakta yang terjadi setelah berjalannya kebijakan remunerasi ini justru jauh panggang dari api, korupsi atau kebocoran uang negara pada periode 1971-1998 sampai 30 persen lebih dan sasaran penerimaan pajak saat itu tidak pernah menjadi perhatian serius pemerintahan.
Baca Juga: Apa Kata Sri Mulyani Tentang Perekonomian 2017?
Bahkan yang saat ini terjadi justru lebih parah, dengan remunerasi lebih baik dibanding kementerian-kementerian lain berbagai kasus suap dan korupsi justru mendera pegawai di Kementerian Keuangan, yang menjadi perhatian publik karena aksi KPK adalah kasus Gayus Tambunan serta yang terkini adalah kasubdit di Ditjen Pajak dengan inisial HS. Hipotesa yang telah dibangun oleh Sri Mulyani sebagai seorang ekonom yang memegang teguh sistem kapitalisme dan neoliberalisme akhirnya menemukan kekeliruan faktual yang fatal, alih-alih meningkatkan kinerja birokrasi dan penerimaan negara hanya menambah beban belanja pegawai dan keroposnya APBN untuk membayar utang luar negeri.
Pandangan sebagian besar pegawai Bappenas atas kebijakan remunerasi inilah yang akhirnya menemukan bukti kesalahannya sejak Sri Mulyani mengajukannya pada DPR pada bulan Agustus 2007. "Kami yang saat itu menjadi staf non struktural bidang ekonomi di Bappenas justru mengajukan usulan lain sebagai pilot project remunerasi yang lebih memungkinkan untuk tidak membebani anggaran negara dan meningkatkan kinerja birokrasi, yaitu melalui sistem kontrak dengan evaluasi kinerjanya berdasar pengalaman berbagai negara maju yang pernah kami ikuti, namun ditolak Sri Mulyani," jelas Defiyan.
Dengan melihat berbagai kasus yang terjadi di jajaran birokrasi patut bagi pemerintah untuk melakukan evaluasi atas kebijakan remureasi dan bahkan mempertimbangkan untuk dicabut, apalagi menambah beban anggaran negara dan tak akan berpengaruh pada kinerja dan penyimpangan yang terjadi di lingkungan pemerintahan. "Karena akar masalahnya bukan pada tinggi dan rendahnya pendapatan, melainkan moral dan mentalitas birokrasi hal mana juga terjadi di lingkungan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang memperoleh gaji lebih baik," tutup Defiyan.