Tim penasihat hukum dua terdakwa dugaan korupsi dan tindak pidana pencuciaan uang dalam pembelian lahan serta gedung untuk kantor cabang Bank Maluku di Surabaya menuding audit BPKP Perwakilan Maluku hanya menggunakan data sekunder.
"Hasil audit BPKP itu ngawur karena hanya menggunakan data sekunder dari keterangan para saksi di Berkas Acara Pemeriksaan, padahal harusnya menggunakan data primer dari Bank Maluku," kata penasihat hukum terdakwa, Moritz Latumeten di Ambon, Maluku, Jumat (11/11/2016).
Hal itu disampaikan dalam sidang lanjutan terdakwa Petro Tentua dan Hentje Toisuta, dipimpin ketua majelis hakim tipikor Pengadilan Negeri Ambon, R.A Didi Ismiatun didampingi Syamsidar Nawai dan Bernard Panjaitan.
Agenda sidang mendengarkan eksepsi atau nota pembelaan PH atas surat dakwaan tim JPU yang dikoordinir Rolly Manampiring.
Petro Tentua adalah mantan Kepala Divisi dan Korsek PT. BM Maluku-Malut yang dijerat dengan UU nomor 35 tahun 199 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, sedang Hentje adalah Direktur CV. Harves yang dijerat dengan UU tipior serta pasal 5 Undang-Undang RI nomor 8 tahun 2010 tentang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang juncto pasal 55 ayat (1) ke-1 KUH Pidana.
Menurut Moritz Latumeten, yang mengalami kerugian dalam perkara ini sebenarnya bukanlah pihak bank tetapi saksi Costarito Tee selaku Direktur PT. Mutiara Cahaya Sukses di Surabaya.
Sementara dalam persidangan sebelumnya, JPU menyatakan rencana pembukaan kantor cabang di Surabaya itu sudah terjadi sejak tahun 2011, sehingga direksi Bank Maluku minta dimasukkan ke dalam rencana bisnis bank (RBB) 2012 - 2014.
Terdakwa Idris Rolobessy (Dirut) kemudian menghubungi Hentje untuk mencari lahan dan menghubungi pemiliknya di Surabaya untuk melakukan negosiasi harga, sehingga pada pekan kedua bulan November 2014 saksi Hentje bersama Benny menemui saksi Costaristo Tee selaku Direktur PT. Mutiara Cahaya Sukses dan merupakan anak perusahaan PT. Podojoyo Masyur dari saudara Teguh Kinarto selaku pemilik lahan.
Hentje mengakui kepada Costaristo bahwa dirinya adalah seorang pengusaha yang bermaksud membeli tanah dan bangunan di jalan Raya Darmo nomor 51 Surabaya milik PT. MCS dan dari proses tawar-menawar disepakati harga sebesar Rp46,4 miliar.
Setelah itu Hentje mengatakan kepada Costaristo agar harga pembelian yang akan dicantumkan dalam akta ikatan jual beli sebesar sebesar Rp54 miliar, dan Hentje juga meminta jatah Rp7,6 miliar dari hasil transaksi tersebut, sebab yang disepakati hanya Rp64,4 miliar tetapi harus dicantumkan Rp54 miliar dalam akta jual beli.
Dana Rp54 miliar ini akhirnya ditransfer ke rekening BCA milik saksi Soenarko pada tanggal 17 November 2014 dengan menggunakan fasilitas BI RTGS untuk pembelian tanah dan bangunan di jalan Darmo nomor 51 Surabaya dengan menginput password sebagai final approve sebagai otorisasi selaku direktur umum berdasarkan surat keputuan direksi nomor 49/KP tanggal 4 April 2012 tentang fungsi, wewenang, dan limitasi dalam rangka operasional sistem BL realtime settlement. (Antara)