Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Lukita Dinarsyah Tuwo menilai penerapan skema Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) atau Public Private Partnership (PPP) dalam membangun proyek-proyek infrastruktur di Tanah Air kini sudah lebih baik.
"Memang waktu mencanangkan (skema PPP) itu dulu, ternyata kita belum menyiapkan berbagai hal yang dibutuhkan untuk PPP jalan. Contohnya penjaminan. PPP harus ada proses penjaminan karena ini kan si swasta perlu mendapat konsesi, mendapatkan keyakinan bahwa masa kerjanya dia akan sesuai dengan kontrak," ujar Lukita di Jakarta, Selasa malam (8/11/2016).
Selain itu, lanjut Lukita, kemampuan penyiapan proyek yang ditawarkan pemerintah untuk kerja sama dengan swasta dalam proyek infrastruktur, kini juga sudah lebih baik sehingga dapat menarik investor.
"Private (swasta) akan lihat dokumen proyeknya, sudah bagus apa belum. Karena kalau mereka kerjakan sendiri mahal, mereka lihat data yang lengkap. Dulu kita tidak punya mekanisme untuk menyiapkan proyek dengan dokumen proyek yang baik," ujarnya.
Lukita menambahkan, adanya dukungan pemerintah berupa dana dukungan awal atau viability gap fund (VGF) juga membuat skema KPBU akan terlihat semakin menarik. Sementara itu, untuk persoalan pembebasan tanah, yang sering menjadi masalah dalam pembangunan proyek infrastruktur, juga sudah teratasi dengan adanya Lembaga Manajemen Aset Negara (LMAN).
"Ini semua yang sekarang sudah relatif lengkap. Contoh Palapa Ring, PLTU Batang, (Proyek Sistem Penyediaan Air Minum/SPAM) Umbulan di Jatim. Sekarang sudah pecah telur, dulu cuma listrik," ujarnya.
Dari semua sektor infrastruktur, proyek jalan tol dan pembangkit listrik termasuk yang efektif menjalankan skema KPBU, namun, dalam proyek infrastruktur lain, penggunaan skema KPBU tersebut dinilai masih sangat terbatas.
Lukita mengatakan, apabila ke depannya pembangunan proyek infrastruktur dengan skema KPBU dapat berjalan dengan optimal dan jumlahnya semakin banyak, dapat memberikan efek domino dan tentunya kepercayaan yang lebih besar dari pihak investor swasta.
"Dengan keberhasilan (menerapkan skema KPBU) itu, kita sudah berpengalaman dan instrumen pendukung sudah ada. Bagi investor pun menjadi nyaman. Ada PII (Penjaminan Infrastruktur Indonesia), SMI (Sarana Multi Infrastruktur). Sekarang juga sudah ada badan baru yang dibentuk untuk pembebasan tanah, yaitu Lembaga Manajemen Aset Negara. Ini akan semakin menarik," ujar Lukita.
Sebelumnya, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Bambang Brodjonegoro menilai skema KPBU dalam membangun proyek-proyek infrastruktur di Tanah Air kini merupakan suatu keharusan.
Bambang menuturkan proyek-proyek infrastruktur membutuhkan pembiayaan yang besar. Kebutuhan pendanaan pembangunan infrastruktur periode 2015-2019 diperkirakan senilai Rp4.796,2 triliun.
Kebutuhan dana tersebut terdiri dari kebutuhan belanja kementerian/lembaga dan transfer daerah (APBN dan APBD) mencapai Rp1.978,6 triliun (41,3 persen), dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sebesar Rp1.066,2 triliun (22,2 persen). Sementara itu, sisanya sebanyak Rp1.751,5 triliun (36,5 persen) adalah partisipasi dari swasta.
Oleh karena itu, perlu keterlibatan swasta yang lebih besar dalam investasi pembangunan infrastruktur di Indonesia. Dalam perkembangannya, capaian financial close KPBU periode 2015-2016 mencapai 63,86 triliun.
Anggaran infrastruktur sendiri dari tahun ke tahun terus mengalami kenaikan. Pada 2015, infrastruktur mendapat alokasi sebesar Rp290,3 triliun. Di 2016, nominal tersebut meningkat hingga menyentuh angka Rp313,5 triliun. Sementara di 2017, anggaran infrastruktur dipatok pada angka Rp346,6 triliun.
Hingga 2019 mendatang, total anggaran infrastruktur diperkirakan sekitar Rp 1.500 triliun, angka tersebut masih berada di bawah prakiraan kebutuhan dana dari APBN dan APBD, yakni Rp1.978,6 triliun. Maka, untuk memenuhi kebutuhan pembangunan infrastruktur, peran sumber pembiayaan swasta dinilai cukup signifikan. (Antara)