Perwakilan negara dan para ahli bencana dari berbagai negara yang hadir dalam pertemuan ke-8 High-level Experts and Leaders Panel on Water and Disaster (HELP) yang berlangsung di Jakarta sejak tanggal 31 Oktober hingga 3 November 2016, selama 2 hari (2-3 November 2016) melakukan kunjungan ke Provinsi Aceh untuk melihat langsung penanganan bencana tsunami yang terjadi tahun 2004 atau 12 tahun lalu oleh Pemerintah Indonesia. Pada kunjungan tersebut para peserta mengunjugi tiga lokasi yakni Museum Tsunami Aceh, PLTD Apung dan Pantai Ulee Lhue.
"Kunjungan ini untuk melihat kondisi setelah bencana yang pernah terjadi di sini, yaitu tsunami. Para peserta dibawa ke sini untuk melihat apa yang sudah diperbuat, Indonesia berbagi pengalaman dalam upaya rekonstruksi dan rehabilitasi," terang Direktur Sungai dan Pantai, Direktorat Jenderal Sumber Daya Air Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Hari Suprayogi dalam keterangan tertulis, Rabu (2/11/2016).
Ditambahkannya tsunami Aceh telah mengakibatkan korban jiwa sangat banyak, dan penanganannya juga tidak sebentar yakni memerlukan waktu hingga empat tahun lebih. Penanganan tidak hanya dilakukan oleh Pemerintah Indonesia namun juga dari bantuan negara-negara sahabat yang sangat banyak.
Kunjungan diikuti oleh perwakilan dari delapan negara sebanyak 35 orang, termasuk dari Indonesia. Para peserta juga melihat bantuan yang telah diberikan oleh negara mereka pasca tsunami tahun 2004.
Dalam kunjungan tersebut, para peserta diterima oleh Kepala Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA) Said Rasul yang mewakili Gubernur Aceh. Dalam sambutannya, Kepala BPBA mengucapkan terima kasih atas bantuan yang diberikan oleh negara asal para delegasi dalam penanganan tsunami Aceh.
Ia mengakui upaya manajemen bencana di Aceh memerlukan usaha yang sangat besar, mengingat provinsi tersebut memiliki 6.674 desa, dimana 237 desa di antaranya rawan bencana. "Fokus kami (BPBA) sekarang dalam penanggulangan bencana adalah pengurangan risiko, perlindungan, dan rehabilitasi masyarakat," terangnya.
Dalam kunjungan ini, delegasi dapat melihat upaya pemerintah Indonesia dan masyarakat Aceh untuk bangkit kembali setelah tsunami dahsyat di daerah tersebut 26 Desember 2004 silam. Selain diajak mengunjungi Pantai Ulee Lheue, Museum Tsunami, dan Museum PLTD Apung, delegasi juga melihat langsung tempat evakuasi sementara (TES) dan sejumlah rumah penduduk yang dibangun pasca bencana.
Turut hadir dalam kunjungan tersebut Mantan Ketua Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi (BRR) Aceh-Nias Kuntoro Mangkusubroto. “Kalau Anda lihat sekarang Aceh mulai macet, itu hal yang bagus. Itu artinya ekonominya berjalan," jelasnya kepada para delegasi.
Terkait infrastruktur di Aceh, Kuntoro menyatakan, bahwa Infrastruktur, seperti pembangunan gedung, bangunan, jalan, jembatan, bandara, pelabuhan, sudah ada dan sudah beroperasi, namun pertanyaannya, menurut Kuntoro adalah apakah itu membantu pertumbuhan ekonomi.
Ditambahkannya, saat ini aktivitas ekonomi daerah ini didominasi oleh kegiatan perdagangan. "Saya tidak mengatakan bahwa pergadangan itu kurang baik. Tetapi yang namanya pabrik, manufaktur, itu ada penambahan nilai. Kedua, kegiatan itu menyerap tenaga kerja,”jelasnya.
Ditanya mengenai kesiapan infrastruktur di Aceh untuk mendukung geliat ekonomi ke arah yang lebih produktif, Kuntoro menegaskan bahwa infrastruktur yang ada sudah cukup. "Bandara cukup, pelabuhan cukup. Sudah beres semuanya, sudah dibangun semuanya. Sekarang bagaimana membuat gampang untuk orang membuat pabrik di sini," tutupnya.