Suara.com - Menteri Pariwisata, Arief Yahya mempopulerkan rumus 3A, yaitu atraksi, akses dan amenitas bagi pengembangan destinasi pariwisata. Tiga ukuran itu digunakan untuk menilai kesiapan sebuah destinasi untuk dipromosikan.
Dalam rapat pimpinan (rapim), 25 Oktober 2016, yang dilangsungkan di Lantai 16, Gedung Sapta Pesona, Kementerian Pariwisata, pada 25 Oktober 2016, mantan Dirut PT Telkom Indonesia itu membedah satu dari 3A itu, akses atau aksesibilitas.
Menurutnya, tiga A untuk akses adalah airlines, airports, dan authority. Bulan ini, menpar melakukan roadshow mendatangi kantor 3A, yaitu Garuda Indonesia, AirAsia, dan Lions Air untuk airlines. Kemudian Angkasa Pura I dan Angkasa Pura II untuk manajemen airports atau bandara, dan terakhir bertemu Menteri Perhubungan, Budi Karya Sumadi.
“Kami sepakat dan kompak dengan menhub untuk besama-sama membangun seats capacity bagi 20 juta wisman pada 2019. Target itu membutuhkan 30 juta seats,” jelas Arief.
Untuk mencapai tujuan ini dibutuhkan kerja besar, gotong royong, kompak antarkementerian, antarlembaga, dan antar pemangku kepentingan. Hal ini disampaikannya dalam CEO Message #14 berjudul “Strategi 3A, Airlines, Airports, Authorities”:
Program prioritas Kemenpar 2017 sudah berhasil kita rumuskan, setelah melalui serangkaian diskusi dan perdebatan beberapa minggu terakhir. Program prioritas tersebut mencakup tiga inisiatif utama, yaitu digitalisasi, pengembangan amenitas dengan membangun homestay secara massal, dan pembenahan aksesibilitas udara (3A, berupa airlines, airports, authorities). Dalam tiga CEO message ke depan, saya akan mengupas program-program prioritas tersebut secara mendalam.
Harapannya, kita semua punya pemahaman dan satu pikiran yang sama mengenai PR besar yang harus kita tuntaskan tahun depan.
Pertama, saya akan membahas aksesibilitas udara, karena inilah PR pertama yang harus kita tuntaskan. Visi mendatangkan 20 juta wisman hanya sekadar mimpi belaka, jika kita tidak mampu menyelesaikan masalah aksesibilitas udara pada 2017. Mengapa?
Ingat, sekitar 75 persen wisman yang datang ke Indonesia melalui udara (air connectivity), sisanya 24 persen lewat laut, terutama menggunakan ferry dan sebagian kecil menggunakan cruise dan yacht. Sementara itu hanya 1 persen wisman masuk lewat darat.
Celakanya, wisman yang masuk dari pasar utama wisman sebagian besar masih melalui transit, bukan direct flight. Padahal kita tahu, mereka pasti menginginkan untuk datang ke berbagai destinasi yang kita tawarkan secara langsung. Jadi nggak ribet.
Contoh untuk originasi Cina, hanya 38 persen penumpang dari negara ini yang direct fligh ke Indonesia, sisanya lewat transit. Kita masih tertinggal jauh dari negara-negara tetangga pesaing kita.
Terbang dari Cina ke Malaysia misalnya, 78 persen sudah direct flight; ke Thailand 81 persen; dan Singapura 86 persen. Secara kasar, posisi kita dibandingkan negara-negara tersebut adalah 40:80 persen. Kita hanya separo dibanding mereka.
“Seat Capacity Deficit 2019”
Sebelum masuk pembahasan lebih jauh, mari kita melihat kemampuan seat capacity dari penerbangan internasional kita saat ini, dan kemudian melakukan perhitungan proyeksi kebutuhan seat hingga 2019. Berdasarkan perhitungan itu, kita akan akan tahu berapa gap kecukupan seat dan dari situ kita bisa menyusun strategi efektif untuk closing the gap dan memecahkannya.
Berdasarkan data Airport Intelligence Services/IATA, tahun ini seat capacity penerbangan internasional kita mencapai 19,5 juta. Jumlah seat sebanyak itu rupanya hanya efektif untuk mendatangkan wisman sebanyak 12 juta.
Nah, kalau pada 2019 kita punya target mendatangkan 20 juta wisman, maka setidaknya kita harus menyediakan 30 juta seat penerbangan internasional. Artinya, selama tiga tahun ke depan, kita harus menambah 10,5 juta seat lagi.
Seperti kita tahu, target wisman pada 2016 adalah 12 juta, dimana yang masuk melalui udara sekitar 75 persen atau 9 juta wisman. Sekitar 40 persen seat penerbangan internasional digunakan oleh wisnus (WNI), jadi jumlahnya sekitar 6,4 juta. Kalau ditotal, maka jumlah seat yang kita perlukan adalah 9 + 6,4 = 15,4 juta.
Nah, kalau rata-rata seat load factor sebesar 80 persen dan seat capacity penerbangan internasional kita 19,5 juta, maka kita dapatkan seat yang tersedia sebesar 19,5 X 80 persen = 15,5 juta. Jadi tahun ini kita beruntung, karena seat demand dan supply masih berimbang, yaitu seat yang diperlukan 15,4 juta dan seat yang tersedia 15,5 juta.
Pertanyaannya, bagaimana untuk tahun-tahun berikutnya hingga 2019?
Coba kita hitung lagi. Pada 2019, kita menargetkan wisman sebanyak 20 juta, dimana yang masuk lewat udara sebanyak 75 persen atau 15 juta. Dengan perbandingan 40 persen : 60 persen (32:68), karena pertumbuhan wisman lebih cepat, maka jumlah wisnusnya (WNI) sebanyak 7 juta. Dengan demikian, total jumlah seat yang kita perlukan sebanyak 15 + 7 = 22 juta.
Berdasarkan perhitungan ini terungkap defisit penyediaan seat hingga tahun 2019. Rinciannya, pada 2017, kita defisit 4 juta seat; 2018 defisit 3,5 juta; 2019 defisit 3 juta. Jika ditotal secara umum selama 2017-2019, kita akan defisit 10,5 juta seat.
Pertanyaan besarnya kemudian adalah, bagaimana jika defisit jumlah seat penerbangan internasional itu tidak bisa kita tutup?
Pasti angka 20 juta yang terus kita dengung-dengungkan itu hanya omong kosong belaka. Berdasarkan perhitungan sederhana di atas terlihat bahwa masalah besar kita adalah di akses.
Atraksi sudah tak perlu ditanya lagi, karena kita punya natural dan cultural resources terbaik di dunia. Kemudian dari sisi amenitas, kita cukup lumayan. Di akses, kita punya masalah besar.
Maka dari itu saya simpulkan, aksesibilitas udara ini sangat krusial bagi pencapaian target wisman 20 juta. Ini adalah masalah terpenting pertama yang harus kita tuntaskan.
Persoalan lain tak akan bisa terselesaikan sebelum persoalan ini tuntas. Panorama Raja Ampat yang begitu indah atau pemandangan bawah laut Wakatobi yang begitu menawan, tak ada artinya jika para wisman sulit datang ke sana karena minim dan sulitnya penerbangan. Jadi, atraksi sehebat apapun tak ada artinya kalau aksesnya payah.
Strategi 3A
Untuk menutup defisit tersebut, rupanya tak semudah meminta maskapai penerbangan menambah jumlah penerbangan internasionalnya. Jumlah penerbangannya ditambah, kalau bandaranya nggak cukup, nggak akan bisa.
Begitu juga penerbangan ditambah, kalau perjanjian layanan udara dengan negara lain tidak dibereskan, juga nggak akan bisa. Kalau traffic right-nya tak tersedia, mau lewat mana?
Karena itu pembenahannya harus mencakup tiga aspek secara menyeluruh dan terintegrasi. Pertama dari sisi maskapai penerbangannya (airlines), bertujuan untuk memastikan kemudahan pengembangan rute baru ke pasar utama wisman.
Kedua, dari sisi bandara dan navigasi udara (airport and air navigation) bertujuan untuk memastikan ketersediaan capacity di bandara, dan ketiga dari sisi perjanjian layanan udara (air service agreement), bertujuan untuk memastikan ketersediaan traffic right.
Untuk gampangnya saya singkat menjadi 3A, yaitu airlines, airport, authorities.
Saya akan mulai dari Authorities.
Di sini kita bicara air service agreement yang menyangkut regulasi udara antar negara. Karena pelaksananya adalah Kemenhub, maka kita harus bekerja bersama Kemenhub.
Di sini kita harus memastikan ketersediaan seat untuk regular flight yang diperoleh melalui Air-Talk. Kemudian kita juga harus mendorong implementasi Open-Skies Policy dari dan ke pasar-pasar utama wisman untuk single country. Contoh antara Indonesia-Cina dan Indonesia-India.
Kemudian mempercepat Air-Talk di level G-to-G dengan negara yang memiliki hub-airport besar dengan maskapai penerbangan yang kuat. Contoh UEA (Dubai dan Abu Dhabi) dan Qatar.
Kedua untuk Airlines.
Di sini kita sudah melakukan road show ke berbagai maskapai penerbangan dan Kemenhub. Kita meminta dukungan regional network airlines, yaitu maskapai penerbangan yang memiliki network besar seperti Singapore Airlines atau Air Asia.
Contohnya, Air Asia punya banyak sekali hub di luar negeri, salah satunya di Kuala Lumpur. Seluruh wisman dari berbagai negara (terutama Cina, India, dan ASEAN) di-pool lewat hub airport milik Air Asia di Kuala Lumpur, kemudian didistribusikan ke 17 kota yang menjadi akses destinasi wisata kita. Itu adalah pilihan yang paling gampang.
Pilihan lain adalah membuka konektivitas langsung ke pasar-pasar utama wisman. Sasarannya adalah bandara-bandara yang masih tersedia slot-nya seperti Bandara Kualanamu, Batam, Solo, Lombok, Ujung Pandang, dan Manado.
Terkait dengan konektivitas langsung ini, kita mengusulkan rute-rute baru yang kita branding dengan nama Wonderful Indonesia Package. Inisiatif ini melibatkan berbagai pihak, mulai dari Kemenhub, Angkasa Pura, AirNav, dan Pemda yang akan bahu-membahu memainkan peran dan tugas masing-masing.
Tugas Kemenhub di sini adalah mempermudah izin dan memberikan insentif airport charge. Kemenpar memberikan insentif per pax, misalnya maskapai penerbangan membawa 1 wisman diberi marketing fee US$10.
Bisa juga extra marketing support dipromosikan dari Chengdu ke Bali dan Jakarta. AP 1 dan AP 2 memberikan insentif airport charge, apalagi kalau nature pendapatan penerbangan mengikuti pola S-curve, harusnya menagihnya jangan di awal operasi. Air navigation memprioritaskan alokasi slot untuk rute baru.
Lalu bagaimana solusi untuk Airports?
Di sini kita melakukan pendekatan dan kerja sama baik dengan Angkasa Pura maupun AirNav Indonesia.
Dari matriks tersebut terlihat bahwa ternyata kita hanya punya tiga bandara yang memiliki sisa slot cukup besar, yaitu Solo, Batam, dan Lombok. Bandara-bandara paling sibuk seperti Denpasar, Cengkareng, Yogyakarta, dan sebentar lagi Surabaya, sudah tidak ada sisa slot. Bagaimana strategi memanfaatkan kapasitas ini?
Sederhananya, untuk mengeksekusi Q2, kita membutuhkan lebih banyak upaya marketing, promosi besar-besaran dengan memberikan banyak insentif. Sedangkan eksekusi Q3 lebih banyak membutuhkan koordinasi dengan kementerian dan lembaga (K/L) lain, seperti Kemenhub, AP, dan AirNav untuk membebaskan slot yang masih bisa dipakai.
Jadi secara umum, peningkatan kapasitas bandara memiliki tiga opsi. Pertama, opsi jangka pendek/segera, tanpa harus melakukan pembangunan fisik bandara. Caranya melalui penambahan slot dengan tambahan jam kerja bandara dari 12 jam menjadi 18 jam, regulasi dengan penyederhanaan perijinan, dan penataan IT dan SDM.
Contohnya Bandara Gatwick di London. Itu sama dengan bandara Denpasar, hanya punya 1 runaway. Namun karena sistem IT-nya canggih, Bandara Gatwick bisa menghasilkan 55 air traffic movement (ATM) per jam, sementara bandara Denpasar hanya 25. Cuma separonya, sayang sekali.
Kedua adalah opsi jangka penengah 1-2 tahun, yaitu pengembangan fisik bandara secara terbatas. Caranya dengan meningkatkan slot air segment dan slot ground segment. Yang pertama dilakukan oleh AirNav, dan yang kedua dilakukan oleh Angkasa Pura. Contohnya, pembangunan rapid taxy way.
Ketiga adalah opsi jangka panjang di atas 2 tahun, yaitu perluasan bandara dan pembangunan bandara baru.
Kemenpar Melakukan Road Show
Untuk mewujudkan itu semua, selama beberapa bulan terakhir, saya bersama Pak Judi Rifajantoro dan rekan-rekan terkait begitu agresif melakukan road show ke maskapai penerbangan dan Kemenhub. Beberapa hasil awal sudah kita peroleh, namun masih banyak hal lain yang harus terus kita perjuangkan.
Audensi dengan Kemenhub misalnya, kita meminta dukungan kemudahan perizinan bagi pembukaan rute baru. Kita juga meminta agar bandara-bandara yang heavily congested (di atas 1 million passenger per annum, mppa) bisa beroperasi 24 jam dan melakukan optimalisasi slot, mendorong agar bandara di 10 destinasi prioritas (Silangit, Tanjung Pandan, Labuan Bajo, Matahora, Morotai) dijadikan bandara internasional. Bahkan kita mendorong Kemenhub agar memulai proses privatisasi bandara.
Kita juga melakukan audensi ke maskapai penerbangan Garuda Indonesia, Citilink, Lion Air, dan Sriwijaya Air. Di situ kita mengklarifikasi status permohonan izin rute baru. Contohnya Garuda Indonesia akan membuka rute baru Chengdu-Bali, Xiamen-Bali, Mumbai-Jakarta, dan belum terlaksana.
Salah satu alasanya, mereka harus membuat business plan. Saya katakan ke Garuda Indonesia, untuk pasar-pasar baru yang “green field” seharusnya menggunakan pendekatan strategi “leading supply”, supply dulu baru demand terbentuk.
Sementara audensi ke Angkasa Pura 1 dan 2, kita mengklarifikasi status pengembangan infrastruktur, seperti pembangunan/perluasan bandara Silangit, Tanjung Pandan, Tanjung Lesung (Banten), Kulon Progo, Surabaya, Lombok, Labuan Bajo, Morotai.
Rekan-rekan pemimpin di Kemenpar, masalah aksesibilitas udara belum pernah kita sentuh seserius sekarang ini. Begitu kita tahu bahwa persoalan ini sangat krusial, maka kita harus memprioritaskan seluruh sumber daya yang kita memiliki untuk memecahkannya.
Terakhir saya ingin mengingatkan sekali lagi, bahwa kemenangan harus kita rencanakan. Dan merencanakan kemenangan tak mungkin bisa kita lakukan, jika kita tak tahu persoalan krusial yang kita hadapi. Inilah persoalan krusial di depan mata. Saya berharap, kita semua bisa bekerja lebih fokus pada 2017.
Salam Pesona Indonesia!!!
Permudah Akses, Menpar-Menhub Targetkan 30 Juta "Seats Capacity"
Fabiola Febrinastri Suara.Com
Rabu, 26 Oktober 2016 | 15:00 WIB
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News
REKOMENDASI
TERKINI
Bisnis | 11:33 WIB
Bisnis | 11:08 WIB
Bisnis | 10:27 WIB
Bisnis | 09:45 WIB
Bisnis | 09:45 WIB
Bisnis | 09:38 WIB
Bisnis | 09:20 WIB
Bisnis | 08:53 WIB
Bisnis | 08:44 WIB