Industri Migas di Indonesia Tetap Bertahan di Masa Sulit

Adhitya Himawan Suara.Com
Sabtu, 22 Oktober 2016 | 21:01 WIB
Industri Migas di Indonesia Tetap Bertahan di Masa Sulit
Ilustrasi: Kilang minyak. (Shutterstock)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Sektor minyak dan gas bumi (migas) masih menghadapi masa sulit. Pemulihan di industri ini haruslah berpangkal dari sumber arus kas, yakni harga minyak dan belanja modal (capex) perusahaan migas besar. Kejatuhan harga minyak yang terjadi sejak pertengahan 2014 telah memaksa perusahaan memangkas belanja modal di tengah tingginya biaya produksi. Kedua faktor ini bisa menjadi risiko yang mengancam pemulihan di industri migas dalam jangka panjang.

"Harga minyak yang rendah menyebabkan perusahaan kesulitan untuk menaikkan dana investasi," kata William Simadiputra, Analis DBS Group Research dalam keterangan resmi, Jumat (21/10/2016). 

Saat ini harga minyak memang sudah menunjukkan tren kenaikan ke 45-50 Dolar Amerika Serikat (AS) per barel, lebih tinggi dari perkiraan awal tahun 43 Dolar AS per barel. Pada tahun depan dan awal 2018, harga minyak diperkirakan bergerak di kisaran 50-55 Dolar AS per barel dan 60-65 Dolar AS per barel. Akan tetapi tidak gampang bagi sektor industri migas untuk membalik keadaan ini.

DBS Group Research mencatat perbaikan harga minyak ini tergantung pada sejumlah faktor kunci, antara lain:

(1)   Keberhasilan konsolidasi industri melalui proses merger dan akuisisi

(2)   Kemampuan perusahaan migas besar menaikkan belanja modal

(3)   Peningkatan utilisasi penggunaan rig

(4)   Hingga kemampuan perusahaan kapal penunjang lepas pantai melakukan pergantian kapal-kapal tua

Jika harga minyak berhasil pulih, perusahaan yang bakal langsung menikmati hasilnya adalah yang bergerak di bidang eksplorasi dan produksi (E&P). Sedangkan bagi perusahaan pengolahan (refining), kenaikan harga minyak mentah bisa menurunkan margin keuntungan. "Namun, penurunan tersebut bisa ditutup dari stok yang melimpah yang dibeli saat harga minyak rendah," ujar William. 

Demikian pula bagi perusahaan penyedia jasa rig dan perkapalan yang belum mendapatkan sentimen positif dari tren kenaikan harga minyak. Keduanya masih menghadapi ketidakpastian permintaan dalam 1-2 tahun mendatang.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI