Berbeda dengan asosiasi pengusaha lainnya, Badan Pengurus Pusat Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (BPP Hipmi) mendukung penguatan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Hipmi menilai sudah saatnya KPPU dikuatkan perannya dalam penyelenggaraan praktik usaha yang sehat di Tanah Air agar tidak menutup peluang bagi pelaku usaha Kecil dan Menengah (UKM) untuk berkembang.
“Kita dukung penguatan KPPU. Selama ini KPPU ini kayak macan ompong. Dia tahu ada kesalahan dimana, tapi tidak bisa menindak apa-apa. Akibatnya, praktik usaha yang tidak sehat berkembang dengan pesat di Tanah Air,” ujar Ketua Umum BPP Hipmi Bahlil Lahadalia dalam keterangan resmi, Sabtu (22/10/2016).
Bahlil mengatakan praktik usaha tidak sehat berkembang pesat di Tanah Air, mulai dari kartel, monopoli dan sebagainya. Praktik konglomerasi di Tanah Air juga malah memperkuat dugaan monopoli yang kian massif. Akibatnya, UKM di Indonesia sangat susah naik kelas (scale-up) dan tumbuh menjadi usaha yang besar dan kuat. “Praktik monopoli ini membuat UKM kita terberangus, dibonsai sedemikian rupa,” ujar Bahlil.
Hal ini disebabkan usaha-usaha besar menguasai praktik usaha dari hulu sampai hilir. “Secara vertikal dia kuasai semua, tidak ada ruang bagi UKM untuk berpartisipasi di dalamnya hulu sampai hilir,” ujar Bahlil. Bahlil mengatakan, sebagian besar konglomerasi di Indonesia mempraktikan strategi bisnis ini. “Misalnya, banyak ritel modern saat ini mulai dari bertani, distribusi, sampai jualan, dia semua yang kerjakan. Penguasaan rantai pasok dari A sampai Z ini membuat UKM sulit masuk dalam ekosistem bisnisnya,” papar Bahlil.
Pembonsaian UKM ini terlihat dari sulitnya usaha menengah melompat menjadi usaha besar di Tanah Air. “Usaha mikro ke kecil, pertumbuhannya cepat sekali. Sebab ada banyak macam bantuan yang mereka dapat mulai dari KUR, CSR, hibah, dan sebagainya. Begitu juga dari kecil ke menengah. Tapi herannya dari menengah menjadi usaha besar ini berat banget. Selain masalah pembiayaan, juga marketnya tiba-tiba mentok. Padahal, kalau konglomerasi atau industri besar tidak melakukan monopoli, tercipta ruang besar bagi mereka untuk mendapat pasar yang lebih besar, sehingga dia bisa naik kelas lagi menjadi usaha besar,” jelas Bahlil.
Bahlil mengatakan, hal ini sangat berbeda dengan industri dan usaha besar di Jepang dan negara-negara maju. Industri besar di sana selalu ditopang oleh UKM-UKM yang ikut memasok dan menjadi mata rantai usaha di negera-negara itu. “Tidak usah jauh-jauh, lihat saja perusahaan-perusahaan Jepang di Cikarang sana. Di sekelilingnya langsung tumbuh UKM-UKM bonafid, pemiliknya beda-beda. Mereka kompak menjadi pemasok. Kalau di Indonesia, konglomerasi dan industri dikuasai dari A sampai Z,” ucap Bahlil.
Hal ini pula yang membuat harga yang jatuh ke tangan konsumen di Indonesia tidak rasional. Monopoli ini juga membuat daya saing usaha di Indonesia menurun atau bahkan sulit meningkat dan membuat biaya ekonomi meningkat pula. “Suplaiernya dia-dia juga, tidak ada persaingan untuk dia bisa dapat bahan baku yang lebih bagus. Sementara, di pasar dia tentukan harga, sebab dia lakukan kartel dengan pesaing,” ujar Bahlil.
Sebab itu, Hipmi mendukung penuh penguatan KPPU. “Investasi memang harus jalan, tapi praktik usaha yang sehat serta pemberdayaan UKM juga harus jalan,” tutup Bahlil.
Sebagaimana diketahui DPR tengah menggodok kemungkinan melakukan revisi terhadap UU Persaingan Usaha. Bahkan DPR telah membentuk Panitia Kerja Harmonisasi RUU Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Beberapa poin perubahan dalam UU tersebut yakni KPPU dapat melakukan penggeledahan dan penyitaan, Keputusan KPPU bersifat final dan mengikat, formula denda menjadi 30% dari penjualan, kewenangan KPPU untuk menindak pelaku usaha di luar negeri, dan perubahan rezim nofikasi merger dan akuisisi.