Ketua Bidang Pengembangan Hukum dan Pembelaan Nelayan dari Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), Martin Hadhiwinata, mengkritik rencana Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya, Luhut Binsar Pandjaitan yang akan kembali melanjutkan proyek reklamasi Teluk Jakarta. Jika ini dilakukan, negara kalah oleh kepentingan dua developer properti raksasa, PT Agung Podomoro Land Tbk dan PT Agung Sedayu Group.
Martin mengatakan polemik proyek reklamasi Teluk Jakarta sudah berlangsung sejak lama, sejak zaman Orde Baru. Saat itu, Gubernur DKI Jakarta, Wiyogo Atmodarminto memunculkan gagaasan ke pantai utara Jakarta. Kebijakan ini dipilih karena perluasan ke arah selatan sudah tidak memungkinkan lagi. Rencana reklamasi seluas 2.700 hektar tersebut pertama kali dipaparkan di hadapan Presiden Soeharto pada buan Maret 1995. Selain untuk mengatasi kelangkaan lahan di Jakarta, proyek Teluk Jakarta juga untuk mengembangkan wilayah Jakarta Utara yang tertinggal dibandingkan empat wilayah lain.
Presiden Soeharto akhirnya setuju dan mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 52 Tahun 1995 tentang Pantai Utara Jakarta. Selain itu, Pemprov DKI Jakarta juga mengeluarkan Perda Nomor 8 Tahun 1995.
"Namun, kebijakan ini tidak sesuai Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) Jakarta 1985-2005 yang tidak mencatumkan reklamasi," kata Martin saat dihubungi Suara.com, Rabu (19/10/2016).
Martin mengakui, sejak tahun 1995 itulah muncul perbedaan pendapat antara Pemprov DKI Jakarta dan Kementerian Lingkungan Hidup. Kementerian Lingkungan Hidup dalam berbagai kebijakannya menyatakan reklamasi tidak layak dilakukan karena akan merusak lingkungan. Sementara Pemprov DKI Jakarta bersikeras agar reklamasi tetap dilakukan.
Pada Tahun 2003, Kementerian Lingkungan Hidup menyatakan, proyek Teluk Jakarta tidak bisa dilakukan karena Pemprov DKI tidak mampu memenuhi kaidah penataan ruang dan ketersediaan teknologi pengendali dampak lingkungan. Keputusan tersebut keluar melalui SK Menteri Lingkungan Hidup Nomor 14 Tahun 2003 tentang Ketidaklayakan Rencana Kegiatan Reklamasi dan Revitalisasi Pantai Utara.
"Tetapi pada tahun 2007, enam pengembang yang mendapat hak reklamasi menggugat Menteri Lingkungan Hidup ke pengadilan tata usaha negara (PTUN) dan menang," ujar Martin.
Kementerian Lingkungan Hidup lalu mengajukan banding atas keputusan itu, tetapi PTUN tetap memenangkan gugatan keenam perusahaan tersebut. Untunglah, ketika Kementerian Lingkungan Hidup mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA), pada 28 Juli 2009, MA memutuskan mengabulkan kasasi tersebut dan menyatakan, reklamasi menyalahi amdal.
Ironisnya pada tahun 2011, sikap MA justru berbalik. MA mengeluarkan putusan baru (No 12/PK/TUN/2011) yang menyatakan proyek reklamasi di Pantai Jakarta legal meskipun disertai syarat. Syaratnya adalah Pemprov DKI Jakarta harus membuat kajian amdal baru untuk memperbarui amdal yang diajukan tahun 2003. Juga dengan pembuatan dokumen Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) yang melibatkan pemda di sekitar Teluk Jakarta.
Selanjutnya pada tahun 2012 Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono menerbitkan Perpres No 122 Tahun 2012. Perpres mengenai reklamasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil tersebut menyetujui praktik pengaplingan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Teluk Jakarta.