4. Pemerintah tidak meminta dividen dari keuntungan Pertamina. Keuntungan Pertamina sepenuhnya dapat digunakan untuk investasi perluasan infrastruktur, khususnya untuk mendukung distribusi BBM dan harga yang sama di seluruh Indonesia.
5. Pemerintah segera menuntaskan negosiasi dengan asing dalam ragka menyerahkan pengelolaan blok-blok migas asing yang telah berakhir masa kontraknya untuk diserahkan kepada Pertamina, agar kapasitas Pertamina meningkat.
6. Pemerintah tidak meminta dana bagi hasil minyak dari penjualan minyak mentah oleh perusahaan Pertamina hulu.
Dana hasil penjualan minyak tersebut dapat digunakan untuk mendukung peningkatan kinerja hilir Pertamina.
7. Bea masuk impor dan pajak penjualan BBM harus dihapuskan, seperti PPN dan pajak bahan bakar kendaraan bermotor (PBBKB) dan semua jenis pungutan pemerintah daerah harus dihapuskan.
8. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang migas harus segera direvisi dan dikembalikan dengan semangat UUD 1945 asli dan mengikuti peraturan perundangan pada era Bung Karno dan era Soeharto. Dengan demikian Pertamina sebagai perpanjangan tangan negara menguasai migas dari hulu sampai ke hilir.
9. Pemerintah membubarkan lembaga parasit yakni SKK migas dan BPH Migas yang memungut dana dari Pertamina dan perusahaan migas lainnya.
"Jika pemerintah tidak menjalankan agenda di atas, dan Pertamina semakin lemah dan sekarat, maka rakyat akan menuduh pemerintah Jokowi sengaja memperlemah Pertamina, berarti Presiden Jokowi antek perusahaan migas asing. Berarti pemerintahan Jokowi antek oligarki minyak nasional. Tuduhan itu menemukan relevansinya mengingat elite politik pendukung pemerintahan ini banyak pebisnis migas besar," tutup Salamuddin.