Peneliti pada Alpha Research Database Indonesia, Ferdy Hasiman menilai jika pemerintah melakukan kebijakan relaksasi pelarangan ekspor mineral mentah, maka pihak yang diuntungkan adalah korporasi-korporasi besar sekelas PT Freeport Indonesia (Freeport) dan PT Newmont Nusa Tenggara (Newmont). Dua perusahaan ini adalah raksasa tambang tembaga dan emas di negeri ini.
"Dua perusahaan ini berkontribusi besar bagi penerimaan negara. Dari perspektif makro ekonomi, jika Freeport dan Newmont tak diberikan kelonggaran ekspor, risiko fiskal dan sosial-politik cukup besar. Baik Freeport maupun Newmont menjadi tulang punggung (backbone) bagi ekonomi di Timika dan Sumbawa Barat," kata Ferdy dalam keterangan tertulis, Rabu (19/10/2016).
Pada akhir tahun 2015, Freeport Indonesia, misalnya, menjual 744 juta pound tembaga dan menghasilkan pendapatan 1,73 miliar dollar AS. Freeport juga menjual 1,22 juta ons emas dan menghasilkan pendapatan 1,38 miliar dollar AS. Jika penjualan emas dan tembaga digabung, Freeport Indonesia menghasilkan pendapatan 3,11 miliar dollar AS pada akhir tahun 2015.
Freeport Indonesia kemudian membayar 109 juta dollar AS kewajiban ekspor dan 114 juta dollar AS royalti. Freeport juga mempekerjakan 30.004 tenaga kerja, termasuk 4601 (27 persen) orang Papua. Freeport juga mempekerjakan 19.800 kontraktor per akhir tahun 2015. Data itu menunjukkan betapa pentingnya Freeport bagi Pemerintah Indonesia.
Newmont pun demikian. Pasca kebijakan pelarangan ekspor, Newmont sempat ingin menggugat Pemerintah Indonesia ke arbitrase internasional tahun 2014 karena kebijakan pelarangan ekspor. Untuk meminimalkan biaya pengeluaran, sekitar 80 persen dari 4.000 karyawan Newmont akan ditempatkan dalam status standby dengan pemotongan gaji. "Saat ini konsorsium Medco Group dan AP Investment telah mengakuisisi Newmont. Lobi-lobi grup usaha domestik yang mengakuisisi saham Newmont boleh jadi memengaruhi kebijakan ekspor," ujar Ferdy.
Lobi-lobi politik ini penting karena sejak kebijakan pelarangan ekspor mineral diberlakukan, produksi dua perusahaan ini terus menurun. Newmont, misalnya, hanya memproduksi 192.000 ons emas dan 113 juta pound tembaga pada akhir tahun 2015. Jika mau melakukan ekspor konsentrat tembaga, dua perusahaan ini wajib mendapatkan izin ekspor dari Kementerian ESDM, dengan syarat harus melaporkan perkembangan pembangunan smelter. Selama ini, hanya 37 persen konsentrat tembaga dari dua perusahaan ini yang dikirim ke PT Smelting Gresik untuk diolah, sisanya diekspor.
Newmont tak memiliki komitmen membangun pabrik pengolahan atau smelter tembaga di Sumbawa Barat. Freeport juga tak ingin membangun smelter di Papua dengan tameng tidak ada industri hilir, seperti pabrik semen dan pupuk. Padahal, pemerintah melalui Kementerian Perindustrian bisa saja merelokasi pabrik pupuk dan semen ke Papua, terutama milik perusahaan-perusahaan negara (BUMN).
Freeport dan Newmont malah telah bersepakat membangun smelter tembaga di Gresik, Jawa Timur. Namun, sampai sekarang, belum ada kepastian soal lokasi pembangunan smelter, apakah di lahan milik PT Petrokimia Gresik atau di lahan milik JIIPE (AKR Corporindo & PT Pelindo III). Freeport belum sepenuh hati membangun pabrik smelter (dengan investasi 2,5 miliar dollar AS), karena belum ada kepastian mengenai perpanjangan kontrak dari pemerintah.
Kontrak karya Freeport berakhir tahun 2021. Freeport meminta perpanjangan kontrak sampai tahun 2041 untuk merealisasikan pembangunan smelter dan pembangunan tambang bawah tanah (underground) di Grasberg, Papua. Namun, pemerintah dan Freeport belum menemukan kata sepakat.
Meskipun demikian, bagaimana dengan perusahaan-perusahaan lain yang sudah rela merogoh kocek untuk membangun smelter? Sulawesi Mining Investment sudah membangun pabrik nickel pig iron(NPI) dengan kapasitas 300.000 ton per tahun di Morowali. Di daerah yang sama, Central Omega Resources juga telah membangun pabrik NPI berkapasitas 100.000 ton per tahun. Sebelum pelarangan ekspor, Central Omega sudah mengekspor lebih dari 3 juta ton biji nikel.
Begitupun Vale Indonesia yang semua bahan tambangnya sudah diolah dalam negeri. Vale Indonesia memiliki kontribusi besar yang tak kalah jauh dengan dua perusahaan besar di atas. Pada akhir tahun 2015, Vale membayar pajak pendapatan 40,4 juta dollar AS dan royalti 15,8 juta dollar AS. Vale juga sudah memiliki smelter nikel berkapasitas 72.500 ton per tahun untuk nikel + cobalt in matte. Perusahaan ini menjadi tulang punggung bagi masyarakat lokal di Sorowako, Sulawesi Selatan.
Pembangunan smelter nikel dan bauksit saja sudah menarik investasi paling tidak 9 miliar dollar AS. Beberapa proyek smelter nikel besar, seperti Eremet dari Perancis yang akan membangun smelter senilai 5 miliar dollar AS di Halmahera, masih menunda konstruksi pabrik karena belum tuntasnya renegosiasi kontrak dengan pemerintah.
Ferdy menambahkan, banyak perusahaan tambang di Kalimantan, Sulawesi, dan Halmahera harus merumahkan ribuan pekerja tambang karena operasi tambang terhenti akibat kebijakan ekspor. Bahkan, pasca pelarangan ekspor, ada perusahaan yang mengalami zero revenue (tanpa pendapatan) dan harus merumahkan ribuan pekerja tambang. Cita Mineral, anak usaha Harita Group, misalnya, sejak tahun 2014 dan 2015 menderita zero revenue karena operasi tambang bauksit terhenti.
Cita Mineral adalah perusahaan pengekspor bauksit terbesar (di atas 10 juta ton per tahun sebelum pelarangan ekspor). Sebelum kebijakan ekspor, Cita Mineral mampu meraup keuntungan Rp 629 miliar dan penjualan Rp 4,12 triliun dari bauksit mentah tahun 2013. Namun, Cita Mineral bisa mendapat keuntungan besar karena smelter grade alumina(SGA) dengan investasi 1 miliar dollar AS sudah dikerjakan hampir 50 persen. Setelah proyek smelter tuntas, besar kemungkinan Cita Mineral akan mendapat untung berlipat-lipat dan pembayaran ke penerimaan negara juga menjadi sangat besar.
"Negara memang mendapat keuntungan penerimaan negara dari tambahan royalti dan pajak dalam jangka pendek dari kebijakan relaksasi ekspor. Namun, masih terlalu kecil. Indonesia, misalnya, hanya memperoleh pendapatan sekitar 800 juta dollar AS dari ekspor biji bauksit, sementara potensial nilai ekspor jika kita memproduksi aluminium ingot sekitar 15 miliar dollar AS. Jadi, kebijakan relaksasi ekspor mineral hanya upaya untuk menutup defisit jangka pendek," tutup Ferdy.